Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) merilis beberapa temuan dari penyelenggaraan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas 100 persen yang berlangsung selama satu minggu ini. Beberapa temuan diantaranya adalah kebijakan yang tergesa-gesa, pelanggaran prokes, dan kurangnya pengawasan.
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima detikEdu, Selasa (11/1/2022), ada tiga evaluasi dan enam rekomendasi dari P2G terhadap pelaksanaan PTM terbatas 100 persen. Pertama, berdasarkan laporan P2G Daerah, pelanggaran protokol kesehatan, seperti siswa berkerumun saat pengecekan suhu akibat thermogun yang tidak memadai, masih kerap terjadi.
"Kami dapat laporan, dari Jakarta maupun luar daerah, ada sekolah diam-diam kantinnya buka, padahal dilarang, jarak siswa tak 1 meter, dan ventilasi udara di kelas tidak ada," tutur Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.
Selain itu, kesulitan dalam melakukan scan barcode PeduliLindungi saat masuk sekolah juga turut menyebabkan kerumunan. Temuan beberapa sekolah yang melakukan pelanggaran prokes seperti di Jakarta, Pandeglang, Cilegon, Kabupaten Bogor, Bengkulu, Kabupaten Agam, Solok Selatan, Situbondo, Bima, intinya terjadi di semua daerah yang sudah PTM 100 persen.
"Salah satu SMP di Kepulauan Riau mengalami kesulitan dalam melakukan scan barcode PeduliLindungi saat masuk sekolah. Akhirnya, karena menghindari kerumunan, beberapa anak masuk sekolah tanpa melakukan scan," cetus Iman.
"Selain itu, untuk kebutuhan scan barcode anak-anak membawa HP. Ternyata mereka main Tik Tok di dalam kelas tanpa menggunakan masker. Nah, hal-hal semacam ini perlu dievaluasi. Itulah diantara alasan P2G meminta PTM 100 persen dilakukan secara bertahap," imbuhnya.
Kedua, P2G menilai bahwa sebetulnya siswa SD masih belum bisa melaksanakan PTM terbatas 100 persen. P2G mengharapkan skema PTM 100 persen dilakukan secara bertahap dengan evaluasi komprehensif. Dimulai 50 persen, lalu dievaluasi, jika hasilnya bagus, maka lanjut 75 persen dan seterusnya sampai 100 persen.
"Misal, lima puluh persen dulu, dua minggu berikutnya naik 75 persen, dua minggu berikutnya kalau evaluasinya aman, tidak ada klaster, warga sekolah taat dengan prokes, baru bisa 100 persen," tambah Iman. Menurutnya, PTM 100 persen ini terlalu terburu-buru.
Ketiga, P2G mendesak pemerintah untuk meningkatkan vaksinasi anak 6-11 tahun termasuk melakukan vaksinasi booster untuk guru. P2G meminta vaksinasi guru dan peserta didik menjadi acuan, khususnya untuk siswa sekolah dasar (SD).
"Guru sebagaimana tenaga kesehatan (nakes) berada di garda depan menghadapi risiko terpapar COVID-19, karena berinteraksi dengan banyak anak setiap hari. Jadi sudah selayaknya guru mendapatkan booster vaksinasi untuk melindungi diri, keluarga, dan peserta didik," paparnya.
Terkait hal ini, P2G sangat mengapresiasi keputusan Wali Kota Solo yang menunda PTM 100 persen karena vaksinasi anak 6-11 tahun belum tuntas. Begitu pula Dinas Pendidikan Jawa Barat yang menunda PTM 100 persen. Menurutnya, hal tersebut merupakan keputusan yang tepat, sangat berhati-hati di tengah meningkatnya kasus varian Omicron.
Selanjutnya rekomendasi P2G dalam pelaksanaan PTM 100 persen
Simak Video "Video: Apa Bedanya Sekolah Rakyat, Sekolah Unggul Garuda, Sekolah Negeri?"
(kri/pal)