Pakar Biologi Laut Dr Lisa Becking dari Wageningen University and Research (WUR), Belanda mengajak para mahasiswa di Indonesia untuk bergabung mengkaji resiliensi terumbu karang di Kawasan Kepala Burung Papua Barat.
"Wilayah Kepala Burung (Bird's Head Seascape) Papua Barat, Indonesia merupakan salah satu ekosistem dengan terumbu karang terkaya di dunia," kata Lisa dalam kuliah umum tentang resiliensi ekosistem laut di Indonesia di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, dikutip dari keterangan IPB University, Jumat (11/11/2022).
"Kami menerima dengan senang hati mahasiswa dari Indonesia, khususnya FPIK IPB University menjadi tim INREEF. Kami siap mendukung segala proses hingga diterima," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dr Lisa dan tim ilmuwan tergabung dalam program INREEF, sebuah program interdisipliner di Wageningen University and Research untuk membangun resiliensi kawasan lindung laut di kawasan pariwisata.
Menguatkan Terumbu Karang di Tengah Faktor Stres
Lisa dan tim INREEF sebelumnya sudah melakukan serangkaian penelitian telah di kawasan Raja Ampat, Papua Barat terkait terumbu karang.
Karena terletak di kawasan segitiga terumbu karang atau Coral Triangle Area, Indonesia menjadi negara dengan kekayaan biodiversitas laut di dunia, khususnya terumbu karang.
Namun menurut Lisa, sebanyak 50 persen terumbu karang dunia telah hilang karena perubahan iklim global dan tekanan lokal akibat penangkapan ikan dan polusi. Aktivitas manusia dan pariwisata pun turut berkontribusi dalam degradasi terumbu karang.
Dikutip dari Earth Justice, ketika wisatawan menyentuh, mematahkan, atau mencemari bagian terumbu karang, maka hewan ini akan stres. Organisme terumbu karang lalu akan mencoba bertahan hidup, tetapi umumnya akan membuatnya jadi memutih (coral bleaching).
Coral bleaching terjadi saat karang mengeluarkan ganggang berwarna cerah yang hidup di dalamnya. Dalam proses ini, terumbu karang bisa jadi benar-benar putih dan berisiko mati. Pemanasan global yang memengaruhi suhu air dan kualitasnya juga memicu coral bleaching.
"Ekosistem laut khususnya terumbu karang sudah terdegradasi akibat adanya berbagai stressor yang datang dari alam maupun lingkungannya, salah satunya aktivitas manusia dan kegiatan pariwisata," ungkap Lisa.
Lisa mengatakan, dengan mengurangi stressor lokal yang berasal dari komunitas lokal, resiliensi terumbu karang yang tersisa masih dapat diperkuat.
"Kita bisa mengelola stressor yang datangnya dari komunitas lokal. Upaya ini sangat mungkin dilakukan dan ini merupakan sebuah harapan. Tidak mungkin kita mengelola perubahan alam seperti perubahan iklim," tuturnya.
Meneliti di Kawasan Kepala Burung Papua Barat
Lisa semula melakukan riset di kawasan Kepala Burung Papua, khususnya di 'danau laut'. Riset tersebut berawal dari ketertarikannya mengamati bagaimana spesies komunitas karang mampu beradaptasi dalam menanggapi perubahan lingkungan.
Ia lalu mencoba memadukan berbagai disiplin ilmu yang berbeda tentang interaksi dan dinamika sistem sosial-ekologi lokal untuk mengidentifikasi cara membangun resiliensi terhadap ancaman saat ini. Ancaman yang perlu dihadapi termasuk perubahan iklim dan peningkatan pariwisata.
Bersama dengan tim ilmuwan, konservasionis, dan pembuat kebijakan yang beragam, Dr Lisa mengumpulkan pengetahuan lokal dan pengukuran ekologis untuk mewujudkan pengelolaan konservasi yang sehat dan berbasis ilmu pengetahuan.
Kolaborasi
Berangkat dari penelitian di Papua Barat, INREEF Waginingen University and Research mengajar mahasiswa Indonesia, khususnya mahasiswa FPIK IPB University, untuk bergabung mengkaji terumbu karang di Papua Barat.
Hal ini disambut baik Dekan FPIK IPB University Prof Fredinan Yulianda.
"Tentu ini merupakan inisiasi yang baik untuk mempererat kolaborasi antara IPB University, khususnya FPIK dan Wageningen dalam upaya konservasi yang berkelanjutan," tutur Prof Fredinan.
Perwakilan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) IPB University Dr Syamsul Bahri Agus menuturkan, pihaknya bersemangat melakukan diskusi lebih lanjut tentang kerja sama pendidikan dan penelitian yang diadakan oleh Wageningen University and Research.
"Kami di ITK sangat welcome dengan adanya informasi ini. Ini sudah tentu kesempatan yang baik untuk melahirkan pakar-pakar kelautan, salah satunya resiliensi laut di Indonesia," pungkas Dr Syamsul.
(twu/pal)