Tak sedikit orang tua yang berharap anaknya tumbuh menjadi pribadi yang sukses dengan menjadi memiliki profesi bergengsi seperti dokter, insinyur, atau ahli teknologi masa depan.
Namun, menurut Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Prof. Stella Christie, mengarahkan anak terlalu cepat ke jalur tertentu justru bisa menutup ruang eksplorasi yang sangat penting bagi tumbuh kembang mereka.
"Yang kita bangun sejak kecil itu bukan pengetahuan spesifiknya, tapi kemampuan belajar untuk belajar supaya apa pun dunia ke depan, anak bisa menyesuaikan," jelas ujar kepada detikEdu beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prof. Stella menjelaskan bahwa kemampuan kognitif anak sebenarnya sudah tinggi bahkan sejak bayi. Anak-anak juga belajar bahasa ibu secara natural tanpa harus diajarkan secara formal. Hal ini menunjukkan kapasitas kognitif anak yang begitu kompleks.
"Anak umur tiga tahun kan sudah bisa ngomong bahasa ibunya dengan lancar padahal tidak diajarkan, ini umur tiga tahun. Coba kita belajar bahasa baru tiga tahun pasti masih jauh dari lancar kan," ucapnya.
Karena itu, yang perlu ditumbuhkan sejak dini bukanlah pengetahuan teknis, tapi rasa ingin tahu dan kepercayaan diri untuk belajar. Anak yang terbiasa bertanya dan diajak berdialog akan tumbuh jadi pembelajar sejati, bukan sekadar penghafal.
Masa Depan Bukan Ditentukan Sejak Dini, tapi Dibuka Perlahan
Prof. Stella mengingatkan bahwa orang tua sebaiknya tidak buru-buru menentukan masa depan anak. Misalnya lewat tes minat atau bakat sejak usia dini. Ia menyarankan agar membantu anak mengeksplorasi dan menambah wawasan seluas mungkin agar bisa mengetahui kemampuan mereka sendiri.
"Tidak usah tes ke anaknya dia itu minatnya dan bakatnya apa karena pasti akan sering berganti. Kita lihat, apakah Pak Presiden Prabowo waktu kecilnya sudah ada minat jadi presiden? Pasti tidak. Tapi beliau punya pikiran yang luas, membaca begitu banyak buku, dan itulah yang membentuk keinginan serta pengetahuan beliau. Nah, waktu kecil tidak bisa ditentukan itu, tapi kemampuan dan kepercayaan diri bisa dibangun," katanya.
Studi jangka panjang juga menunjukkan bahwa kemampuan spasial anak usia 4-5 tahun dapat memprediksi kemampuan mereka dalam bidang STEM saat dewasa. Tapi, kemampuan ini dapat hilang dan hanya dapat bertahan bila diasah lewat aktivitas ringan, disebut math talks atau spatial talks.
"Kalau anak main puzzle lalu orang tua bilang, "yang ini di sudut", anak bisa mulai mengenal konsep sudut meski belum pernah dengar sebelumnya. Ini bisa membantu saat nanti belajar geometri atau fisika, dibanding kalau anak hanya dibiarkan bermain tanpa diajak ngobrol," ujar Stella.
Orang Tua, Fasilitator Potensi Anak Sejati
Menurut Prof. Stella, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan kaya percakapan cenderung punya kosakata lebih kaya dan performa akademik yang lebih baik. Bahkan momen makan bersama bisa jadi waktu belajar yang berharga.
"Dunia anak terbentuk dari interaksi, bukan hafalan. Jadi yang paling penting adalah membangun rasa ingin tahu aktif, dan perasaan bahwa dunia ini seru untuk dipelajari," katanya.
Daripada dijejali dengan konten canggih seperti 'Fisika untuk Bayi', ia menyarankan orang tua fokus membangun semangat eksplorasi lewat dialog, perhatian, dan stimulasi sederhana.
Morinaga memahami bahwa masa depan Si Kecil bukan ditentukan oleh kebetulan. Sebaliknya, masa depan terbentuk dari pilihan terbaik yang kita ambil hari ini. Karena #WaktuTakBisaKembali, Morinaga hadir mendampingi Bunda dan Ayah lewat tiga pilar utama: atensi, potensi, dan nutrisi.
Potensi anak tidak tumbuh dari tekanan, melainkan dari ruang eksplorasi yang dibuka dengan sabar. Maka, biarkan Si Kecil bertanya, menjelajah, dan bermimpi. Hadirkan dukungan terbaik sejak sekarang-karena setiap langkah kecil hari ini adalah fondasi masa depan luar biasa mereka.
Morinaga. Your Choice, Their Future
(anl/ega)