Bukan Sekadar Mengantar, Tapi Menanam Akar

ADVERTISEMENT

Kolom Edukasi

Bukan Sekadar Mengantar, Tapi Menanam Akar

Wibowo Prasetyo - detikEdu
Kamis, 17 Jul 2025 13:30 WIB
Ilustrasi ayah antar anak sekolah
Foto: dok. istimewa
Jakarta -

Sebuah kebahagiaan, Senin (14/7/25) pagi, saya bisa mengantar ketiga anak saya ke sekolah setelah libur panjang. Lalu lintas sangat padat. Sekolah-sekolah terlihat ramai sekali dengan para pengantar anak.

Ternyata, hari itu bukan hari biasa. Tanggal 14 Juli kemarin menjadi awal dimulainya Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI). Sebuah inisiatif pemerintah untuk mendorong para ayah mengantar anak ke sekolah sebagai bentuk keterlibatan emosional dalam pengasuhan. Entah kebetulan atau tidak, banyak sekali para ayah yang mengantar anaknya sekolah pagi itu.

Anak-anak yang kita antar ke sekolah hari itu adalah bagian dari Generasi Z dan Alpha. Dua generasi yang lahir dan tumbuh dalam era yang ditandai dengan kecepatan teknologi, paparan digital tanpa batas, dan kedekatan emosional orang tua-anak yang semakin renggang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hasanuddin Ali, pendiri Alvara Research Center, menyebutkan bahwa Gen Z dan Alpha adalah anak kandung internet. Penetrasi internet di kalangan Gen Z malah mencapai 99%. Hampir 28,3% dari mereka mengalami kecemasan tinggi akibat tekanan media sosial dan fenomena fear of missing out (FOMO). Dalam riset Alvara, generasi ini semakin rawan kehilangan daya tahan mental dan spiritual jika tidak didampingi secara nyata oleh kehadiran orang tua-khususnya figur ayah yang selama ini lebih sering absen secara emosional (Alvara, 2023).

Generasi Rentan dan Ayah yang Mengakar

Bisa jadi, kekhawatiran inilah yang mendasari Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membesut GATI.

ADVERTISEMENT

Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Wihaji mengatakan, 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami fatherless atau kehilangan sosok ayah. "Salah satu yang menjadi problem adalah 20,9 persen anak-anak remaja kehilangan sosok ayah atau disebut fatherless," terang Menteri Wihaji, seperti dikutip dari detikHealth.

Banyak orangtua, kata Wihaji, yang menganggap anak remajanya sudah mandiri sehingga tidak perlu diberi perhatian berlebih. Banyak orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjannya hingga lupa mengajak komunikasi anak di rumah. Padahal, para orangtua terutama ayah, perlu memberikan sentuhan-sentuhan psikologis lewat berkomunikasi.

Melalui GATI, BKKBN bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) membuat surat edaran agar siswa yang mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Satuan Pendidikan (MPLS) bisa diantar orangtuanya ke sekolah.

"Maka dari itu, saya bersama Mendikdasmen membuat surat edaran supaya yang MPLS anak baru bisa diantar orangtuanya, khususnya untuk ayahnya," jelas Wihaji.

Dengan menyempatkan waktu mengantar ke sekolah, ayah bisa memberikan sentuhan psikologis untuk anak-anaknya. Dengan begitu, anak-anak bisa merasakan kehadiran sosok ayah sehingga tidak mengalami fatherless.

Wihaji pernah menyatakan, jika pengasuhan ayah terus diabaikan, maka anak-anak akan tumbuh sebagai handphone generation yang lebih dekat dengan layar gawai daripada pelukan sang ayah. Bahkan dalam konteks tekanan media sosial dan lemahnya daya juang, mereka bisa menjadi strawberry generation-generasi yang tampak manis dan sempurna di luar, tapi rapuh di dalam.

Rendahnya kualitas pengasuhan ayah ini dapat saja berkontribusi terhadap kemampuan anak dalam membangun jati diri dan kepemimpinan. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga menunjukkan bahwa sekitar 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran figur ayah. Dalam situasi ini, banyak anak menghadapi kekosongan emosional yang bisa berdampak pada perkembangan sosial dan kepemimpinan mereka, dan tak jarang, kehangatan yang hilang itu mereka cari dalam layar gawai, bukan dalam pelukan orang tua.

Saya sependapat dengan Menteri Wihaji. Dalam beberapa kesempatan saya pun merasakan betapa terasa jauh hubungan dengan anak-anak lantaran disita oleh kesibukan. Untuk itu, keterlibatan emosional ayah perlu dikembalikan. Peran ayah harus jadi yang utama dalam tumbuh kembang anak. Saya yakin, ayah yang terlibat secara emosional dan fisik membantu anak membentuk identitas diri yang sehat, menumbuhkan ketangguhan, serta membangun landasan sosial yang kuat.

Ini diperkuat dengan berbagai studi psikologi modern, seperti oleh Michael E Lamb (2004) dalam The Role of the Father in Child Development, serta temuan dari riset longitudinal NICHD (National Institute of Child Health and Human Development). Riset itu menyebutkan bahwa kehadiran ayah yang aktif dalam kehidupan anak berkontribusi signifikan terhadap perkembangan kemampuan komunikasi, pengendalian emosi, dan rasa percaya diri anak.

Temuan ini sejalan dengan teori psikososial Erik Erikson (1958, 1963), yang menempatkan peran orang tua, khususnya ayah, sebagai faktor kunci dalam tahap-tahap perkembangan kepribadian anak. Dalam fase usia 3-6 tahun (initiative vs guilt) dan usia 6-12 tahun (industry vs inferiority), kehadiran dan partisipasi ayah sangat menentukan apakah anak akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri atau justru merasa bersalah dan inferior. Di masa-masa inilah anak belajar mengenal dunia melalui eksplorasi, menumbuhkan rasa percaya terhadap kemampuannya sendiri, dan membentuk dasar kepemimpinan serta ketahanan psikologis.

Sayangnya, dalam realitas keluarga modern, kehadiran ayah semakin tergerus oleh beban kerja yang kaku, tuntutan ekonomi, dan warisan budaya patriarkis yang masih memisahkan tegas antara peran domestik dan peran publik. Peran ayah kerap direduksi menjadi sekadar "si pencari nafkah". Sehingga, terkesan jauh dari ranah emosional dan pengasuhan sehari-hari. Ini menimbulkan jarak psikologis antara ayah dan anak yang berisiko mengganggu proses pembentukan karakter anak di masa emas pertumbuhannya.

Dalam budaya Jawa, peran ayah memiliki kedalaman makna tersendiri. Ayah sering disebut sebagai "ageman". Ia menjadi penyangga nilai moral dan spiritual keluarga. Secara filosofis ia menjadi simbol bahwa ayah adalah penopang identitas dan integritas keluarga. Ayah bukan sekadar hadir secara fisik, melainkan menjadi sumber keteladanan, pelindung batiniah, dan penjaga nilai luhur keluarga.

Sementara perspektif Islam lebih jelas lagi. Kualitas seorang ayah tidak diukur dari seberapa besar ia memberi, melainkan seberapa tulus ia hadir. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku." (HR riwayat At-Tirmidzi/3895).

Hadits ini bukan hanya memuat pesan moral, tapi juga menegaskan dimensi spiritual dalam relasi seorang ayah dengan keluarganya. Kebaikan tidak hanya diukur dari nafkah materi, melainkan dari kualitas kasih sayang, perhatian, dan kehadiran batiniah. Rasulullah SAW bukan hanya pemimpin umat, tetapi juga suami yang lembut, ayah yang penyayang, dan kakek yang penuh cinta.

Bukan Sekadar Simbol

Ada yang menganggap bahwa kebijakan ini bersifat simbolik dan bahkan bias gender, seolah menempatkan beban pengasuhan hanya pada ayah. Menteri Wihaji mengklarifikasi bahwa GATI bukan soal menggantikan peran ibu, tapi soal menyeimbangkan pola pengasuhan.

"Ini bukan bias gender. Ini soal keadilan peran dan tanggung jawab," tegasnya dalam peluncuran GATI.

Agar tak berhenti pada seremoni, gerakan ini memerlukan dukungan struktural. Dunia kerja harus menyediakan fleksibilitas. Mungkin saja ada penyesuaian jam masuk kerja atau cuti pengasuhan untuk ayah bukanlah kemunduran, melainkan investasi sosial jangka panjang. Sekolah juga perlu membuka ruang partisipasi bagi ayah. Misal, ada ruang tunggu khusus bagi ayah, program "Ayah Masuk Kelas," atau forum diskusi ayah dan guru yang memperkuat hubungan keluarga dan institusi pendidikan.

Media massa dan media sosial mesti ikut terlibat dalam menyuarakan pentingnya narasi kehadiran ayah. Cerita tentang ayah yang mengantar anak, menemani belajar, atau mendongeng sebelum tidur tak lagi dianggap langka, tapi justru sebuah kebiasaan. Komunitas agama juga bisa berperan aktif. Masjid, gereja, vihara, atau tempat ibadah lainnya menjadi ruang subur bagi edukasi pengasuhan berbasis nilai spiritual. Melalui khutbah, ceramah agama, pengajian, dan pelatihan parenting, nilai pengasuhan menjadi ibadah kolektif.

Di sisi lain, evaluasi terhadap GATI harus terus dilakukan. Pemerintah bisa bekerja sama dengan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat untuk merancang survei dan studi longitudinal. Kita perlu mengukur seberapa jauh kehadiran ayah berdampak terhadap perilaku anak, atmosfer belajar di sekolah, hingga kesehatan mental keluarga. Jika dampaknya nyata, maka GATI bukan sekadar intervensi, tetapi revolusi kultural.

Karena itu, GATI tak boleh berdiri sendiri. Ia harus ditopang oleh kebijakan progresif, kebudayaan yang mendukung, dan mentalitas kolektif yang baru. Tanpa itu, ia akan tinggal sebagai konsumsi berita semata, bukan gerakan yang mengakar.

Anak-anak kita tidak membutuhkan ayah yang sempurna. Mereka hanya membutuhkan ayah yang hadir. Yang membuka pagi dengan tawa dan cerita, bukan amarah dan diam. Yang bersedia menempuh rute sekolah, bukan hanya dengan kendaraan, tapi dengan hati. Dari tindakan sederhana itu, tumbuh rasa aman, kepercayaan diri, dan keutuhan jiwa.

GATI adalah langkah kecil dengan potensi besar. Tapi ukuran keberhasilannya bukan jumlah kendaraan yang memadati sekolah, melainkan jumlah anak yang merasa dicintai dan didampingi. Jika itu terjadi, maka bangsa ini tak sekadar mencetak lulusan, tetapi juga membentuk generasi yang mengakar kuat, menjulang tinggi, dan tahu ke mana arah hidup mereka. Karena mereka memulai perjalanan itu ditemani seorang ayah yang hadir sepenuh hati.

*) Wibowo Prasetyo,

Penulis adalah Wakil Ketua LTN PBNU, dan ayah tiga anak

Tulisan ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (terimakasih-red)




(nwk/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads