Makna perang sarung sudah bergeser. Dulu, anak-anak berperang sarung sekedar permainan yang menimbulkan suka cita, kini menjadi ajang tawuran yang bisa merenggut nyawa.
Keprihatinan ini disuarakan pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti atas kasus perang sarung yang ternyata melibatkan senjata tajam dalam sarung hingga memakan korban jiwa di beberapa wilayah di Indonesia di bulan puasa ini.
"Ternyata, sarung tidak kosong, namun ada yang dimasukan pipa hingga besi. Inilah yang berakibat fatal ketika mengenai lawan," ujar Retno Listyarti dalam rilis yang diterima, Rabu (29/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada awalnya, imbuh Retno, tradisi perang sarung dilakukan untuk mengisi kegiatan selepas sahur di bulan Ramadan. Menurut Retno, perang sahur banyak ditemui di wilayah Banyumas dan memiliki makna lebih ke permainan.
"Di wilayah Banyumas, perang sarung lebih seperti permainan, dimana sarung yang ujungnya diangkat dan berbentuk bulat bertujuan untuk dijadikan senjata menyerang lawan bermain, namun tidak terasa sakit. Sehingga para pemain hanya tertawa-tawa ketika terkena ujung sarung lawan," jelas Retno.
Menurutnya, perang sarung saat ini berubah menjadi aksi tawuran bahkan perkelahian antar kelompok. Tujuan bermain perang sarung saat ini bukan hanya untuk bersenang-senang melainkan melukai dan melumpuhkan lawan.
Hal yang lebih parahnya menurutnya adalah sarung dimasukan batu hingga besi yang kemudian dipukulkan ke pihak lawan. Jika begitu, maka sebab yang akan dirasakan lawan akan fatal, bahkan bisa menyebabkan nyawa melayang.
Dengan adanya korban dari permainan perang sarung ini, Retno mengatakan perlu adanya penindakan dari aparat penegak hukum (APH). Langkah ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah tidak adanya lagi korban.
Menurut Retno, orang tua hingga guru di sekolah dapat melakukan edukasi kepada anak-anak tentang esensi sebenarnya dari permainan ini. Ia pun menambahkan bahwa pengawasan pun harus dilakukan pada penggunaan media sosial.
"Pengawasan media sosial anak juga bisa dilakukan bersama-sama antara guru dan orangtua, karena umumnya janjian perang sarung dilakukan melalui media social. Pengawasan orang tua berperan sangat penting untuk memastikan bahwa sehabis sahur, anak-anak yang izin hendak salat Subuh berjamaah ke masjid tidak melakukan perang sarung".
Selain orang tua dan guru, Retno pun menghimbau masyarakat agar berpartisipasi aktif melakukan pencegahan kekerasan yang dapat terjadi dari permainan perang sarung ini.
"Masyarakat sekitar juga harus berpartisipasi aktif melakukan pencegahan dan segera lapor jika ada hal hal yang mencurigakan ketika ada sejumlah anak tampak berkumpul sambal membawa sarung yang ujungnya diikat. Pencegahan bisa dilakukan dengan mengontak RT/RW sekitar atau melaporkan ke nomor polisi terdekat dari lokasi. Patroli APH juga sangat penting, ada sejumlah rencana perang sarung dapat dibubarkan aparat yang sedang berpatroli ", pungkas Retno.
Dilansir detikNews, detikJabar dan detikJatim, perang sarung terjadi di beberapa daerah.
Di Tasikmalaya, tim Maung Galunggung Polres Tasikmalaya Kota, menemukan barang bukti sarung yang telah diisi batu oleh anak-anak remaja.
Di Sukabumi, aksi perang sarung di wilayah Kabupaten Sukabumi nyaris pecah, beberapa senjata tajam (sajam) berhasil disita, belasan orang diamankan beberapa diantaranya masih berusia di bawah umur pada Sabtu (25/3/2023) dinihari lalu.
Di Surabaya, perang sarung pecah yang terjadi di Jalan Raya Unesa dan Dharmawangsa, Surabaya menelan korban. Satu remaja dilaporkan mengalami luka yang cukup serius akibat perang sarung pada Sabtu (25/3/2023).
(nwk/nwk)