Ribuan Kasus Kriminal Dipicu 'Kata Jahat' Bermunculan, Badan Bahasa Turun Tangan

ADVERTISEMENT

Ribuan Kasus Kriminal Dipicu 'Kata Jahat' Bermunculan, Badan Bahasa Turun Tangan

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikEdu
Senin, 20 Mar 2023 18:00 WIB
Diseminasi Pencanangan Tahun Kongres Bahasa Indonesia 2023 (Nograhany WK/detikcom)
Foto: Diseminasi Pencanangan Tahun Kongres Bahasa Indonesia 2023 (Nograhany WK/detikcom)
Jakarta -

Ribuan kasus kriminal dipicu 'kata-kata jahat' bermunculan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek pun turun tangan.

"Ada ribuan kasus di seluruh Indonesia, paling tidak setiap tahun itu lebih dari seribu kasus seluruh Indonesia," ungkap Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek (Badan Bahasa) Prof Endang Aminudin Aziz, MA, PhD.

Hal itu disampaikan Prof Aminudin dalam Diseminasi Pencanangan Tahun Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII di Hotel Borobudur, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin (20/3/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini lho, karena kegatalan jari. Awalnya tidak tahu, jadi iseng tidak tahan berkomentar, tidak sadar berdampak pada kekecewaan yang berujung pidana," lanjutnya.

Bahasa Ofensif

Dari tren kasus beberapa tahun ini, Aminudin menjelaskan ada yang disebut bahasa ofensif, yakni kalau urusannya sudah menyerang pribadi dalam dua hal, berkaitan dengan fisik dan berkaitan dengan sifat. Sedangkan menyerang pemikiran atau gagasan diwajarkan dan tidak bisa dihukum.

ADVERTISEMENT

"Kalau pemikiran, terbuka untuk dikritisi. Tidak boleh orang dihukum karena mengkritik pemikiran atau gagasan, nggak boleh. Tapi kalau misalnya sudah mengkritik fisik atau sifat, misalnya dibesar-kan sifat seseorang misalkan sifat kikir. Kikir itu kan sifat dan itu diungkap ke publik, nah ini yang tidak boleh, itu berpotensi pidana. Kemudian fisik, 'oh dia hitam', 'dia Cina', 'dia Jawa', 'dia Batak' macam-macam, 'krempeng', 'gembrot' itu tidak boleh," urai dia.

"Jadi yang saya lihat masalahnya semakin meningkat untuk 2 hal itu (fisik dan perilaku). Orang mulai sangat gatal kalau melihat perilaku, gatal kalau tidak berkomentar kan," imbuh Prof Aminudin.

Kemudian, kebanyakan kasus ini didapati mayoritas melalui media sosial. Aminudin menganalisa, bila kasus bahasa ofensif ini jarang dilakukan dalam interaksi secara langsung tatap muka.

"Mayoritas lewat media sosial, kalau interaksi langsung susah, mungkin nggak berani, bisa-bisa ditonjok. Yang kedua, untuk itu harus ada saksi, harus ada bukti. Misalnya berdua bertengkar saling menghina, kalau tidak ada saksi, kan nggak bisa dipidanakan. Sementara kalau ada di media sosial, ada tulisan, tulisan ini yang menjadi bukti," imbuhnya.

Kategori Bahasa Ofensif dan Ilmunya

Lantas bila suatu kata dinilai sudah tidak netral, bagaimana mengkategorikan dan menganalisisnya bahwa suatu kata itu bersifat ofensif?

"Contoh kata Batak diucapkan seseorang, ini nggak netral juga. Dia ngomong 'Dasar lo Batak' berarti ada sesuatu yang negatifkah tentang Batak? 'Dasar lo Jawa', 'Dasar lo Cina' macem-macam, berarti ada sesuatu di situ yang dinisbatkan sebagai sesuatu yang negatif," jelas dia.

Menurutnya menganalisis bahasa ofensif ini ada ilmunya, yakni linguistik forensik.

"Linguistik forensik itu analisis bahasa untuk kepentingan hukum. Saya sudah membuat definisi apa itu pencemaran nama baik, apa itu fitnah, apa itu penghinaan, macam-macam. Sudah ada tulisan-tulisannya," jawabnya saat ditanya detikEdu apakah kategori bahasa ofensif ini akan dibakukan dan dibukukan.

Saking seringnya pakar bahasa di Badan Bahasa diundang aparat hukum untuk menjadi saksi kasus-kasus pidana yang dipicu 'kata-kata jahat' maka Badan Bahasa sampai menggelar kelas mahir untuk para pakar dan akademisi bahasa termasuk para aparat hukum.

Kelas Mahir Linguistik Forensik ini akan diadakan pada September-Oktober bersamaan dengan rangkaian Kongres Bahasa Indonesia XII. Aminudin sendiri yang akan mengampu Kelas Mahir Linguistik Forensik ini bersama Tahmineh Tayebi, staf dari Aston University.

Selain itu, linguistik forensik juga akan mengobservasi bahasa-bahasa kampanye di tahun politik ini. Musim kampanye rawan bermunculan bahasa-bahasa ofensif.

Badan Bahasa juga akan membantu, bila diminta, oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) hingga Bareskrim Polri, bila ada kasus kampanye ofensif.

Bijak Bermedia Sosial Mulai dari Keluarga

Salah satu faktor yang mendorong marak munculnya kasus pidana berpangkal dari 'kata-kata jahat' ini adalah kebebasan bermedia sosial.

"Sekarang mudah dalam mengakses media sosial, tanpa sensor. Dulu jaman Orba, penuh sensor, sudah jelas mana berita yang bisa masuk di koran, TV, majalah. Ada salah sedikit, diciduk Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) ada intel, juga badan Lembaga Sensor Film (LSF) yang bisa menyensor apapun," tuturnya.

Pernyataan Aminudin itu bukan bermaksud mengajak ke Era Orba lagi, namun lebih mengajak agar bijak bermedia sosial dan berhati-hati.

"Menyadari bermedia sosial dengan arif dan bijak, anak harus diawasi orangtuanya, mulai dari keluarga, baru setelah itu sekolah," saran Aminudin.




(nwk/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads