×
Ad

Belajar dari Semut: Studi Ungkap Hewan Ini Rela Berkorban sejak Dalam Kepompong

Callan Rahmadyvi Triyunanto - detikEdu
Rabu, 10 Des 2025 12:00 WIB
Ilustrasi semut. Foto: Getty Images/iStockphoto/undefined undefined
Jakarta -

Semut dikenal sebagai salah satu hewan paling altruistis di alam. Mereka menjaga jarak saat sakit, selalu bertindak demi kebaikan koloni, hingga rela mati demi melindungi ratu dari ancaman luar.

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Nature Communications, para peneliti menemukan bahwa setidaknya ada satu spesies semut yang secara sukarela mengorbankan diri bahkan sebelum keluar dari kepompongnya. Studi tersebut menegaskan bahwa dorongan evolusioner semut untuk melindungi dan menjaga kelangsungan koloni.

Meskipun satu ekor semut adalah makhluk yang relatif sederhana, kompleksitas meningkat tajam ketika jumlah individunya bertambah. Koloni semut dikenal sebagai salah satu contoh terbaik dari konsep superorganisme, yaitu sekelompok individu yang berfungsi layaknya satu kesatuan dan bekerja sepenuhnya untuk kepentingan koloni.

Beberapa koloni bahkan dapat beranggotakan hingga 500.000 semut. Dalam konteks ini, koloni tersebut beroperasi sebagai bentuk kecerdasan kolektif, mirip dengan cara berbagai sel dalam tubuh manusia bekerja sama untuk menjaga fungsi organisme secara keseluruhan.

Para peneliti di Institute of Science and Technology Austria (ISTA) baru-baru ini menemukan contoh berperilaku superorganisme pada semut. Setelah memperkenalkan semut Lasius neglectus pada patogen jamur Metarhizium brunneum, tim memantau perilaku serangga tersebut baik sebagai individu maupun dalam kelompok.

Bagaimana Semut Berkorban Demi Kelompoknya?

Hasil pengamatan menunjukkan bahkan sebelum menetas dari kepompong, pupa pekerja yang terinfeksi mulai melepaskan aroma kimia tubuh yang berubah. Sinyal kimia ini memberi tahu semut dewasa di sekitarnya bahwa mereka harus dibunuh demi mencegah penyebaran infeksi. Menariknya, perubahan aroma ini hanya muncul ketika semut pekerja dewasa berada cukup dekat dengan pupa yang terinfeksi.

Ketika pupa semut yang masih muda tidak terpapar patogen, mereka tidak mengeluarkan sinyal kimia yang sama. Hasil ini menunjukkan bahwa perubahan aroma tersebut bukan sekadar efek samping dari respons imun, melainkan sinyal khusus yang hanya muncul ketika ada ancaman infeksi.

Semut melihat melalui kimia. Mereka mengandalkan beragam penanda dan sinyal kimia untuk mengenali lingkungan serta berinteraksi satu sama lain, termasuk dalam situasi ekstrem.

Sebelumnya, peneliti telah mendokumentasikan perilaku keras yang disebut destructive disinfection, yaitu ketika semut dewasa mengambil pupa yang terinfeksi, menggigit tubuhnya hingga terbuka, lalu menambahkan racun untuk membunuh pupa tersebut sekaligus jamur yang menginfeksinya.

Namun hingga kini, belum jelas apakah sinyal kimia yang memicu perilaku tersebut hanyalah efek sampingan dari infeksi, misalnya akibat pertumbuhan jamur, atau justru sinyal aktif yang sengaja dikeluarkan pupa yang sakit.

Tim peneliti terus melakukan eksperimen terkontrol dengan menginfeksi pupa pekerja Lasius neglectus menggunakan Metarhizium brunneum, patogen jamur yang mematikan banyak jenis serangga.

Karena pupa masih berada dalam kepompong dan tidak dapat bergerak, para peneliti mempertanyakan bagaimana koloni dapat mendeteksi infeksi sejak dini agar wabah tidak menyebar.

Mereka kemudian membandingkan pupa yang terinfeksi dalam dua kondisi, ketika ada semut pekerja dewasa di sekitarnya dan ketika pupa dibiarkan sendirian tanpa kehadiran pekerja.

"Dengan memberi peringatan kepada koloni tentang infeksi mematikan yang mereka alami, semut yang sedang sekarat membantu koloni tetap sehat dan mampu menghasilkan koloni baru. Melalui cara ini, gen milik semut yang memberi sinyal tersebut tetap dapat diteruskan ke generasi berikutnya," ujar Erika Dawson, peneliti perilaku hewan di ISTA.

Selain itu, jenis peringatan kimia seperti ini harus sangat tepat agar semut lain yang sehat tidak ikut terbunuh. Setelah menganalisis komposisi kimianya, Dawson dan rekan-rekannya menemukan aroma tersebut benar-benar disesuaikan dengan kondisi darurat yang sedang terjadi.

"Bau tersebut tidak bisa begitu saja tersebar di ruang sarang, tetapi harus langsung terikat pada pupa yang sakit," jelas Thomas Schmitt, peneliti ahli ekologi kimia dari University of Würzburg, Jerman.

"Karena itu, sinyalnya bukan berasal dari senyawa yang mudah menguap, melainkan terdiri dari senyawa non-volatile yang menempel pada permukaan tubuh pupa," tambah Schmitt.

Pupa Ratu Semut Lebih Kuat

Namun, sinyal ini tidak berlaku pada semua jenis semut. Pupa calon ratu memiliki pertahanan imun yang jauh lebih kuat dibandingkan pekerja, sehingga mereka lebih mampu menahan penyebaran infeksi jamur.

Selama pengamatan di laboratorium, para peneliti tidak menemukan kasus di mana pupa calon ratu mengeluarkan sinyal peringatan yang sama.

"Koordinasi yang sangat presisi antara tingkat individu dan tingkat koloni inilah yang membuat sinyal penyakit altruistik ini begitu efektif," ujar Sylvia Cremer, ekolog dari ISTA.

Penulis adalah peserta program MagangHub Kemnaker di detikcom.



Simak Video "Menyaksikan Keindahan Bawah Laut di Pulau Semut Kecil, Jakarta"

(nah/nah)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork