Kisah Guru Bebaskan 10 Sandera dari Abu Sayyaf di Mindanao

Sudrajat - detikEdu
Senin, 15 Sep 2025 17:30 WIB
Ahmad Baidhowi (tas merah) dan wartawan Metro TV Desi Fitriani yang berperan sebagai asistennya dalam proses pembebasan sandera Foto: Repro buku 'Untold Story Pembebasan 10 ABK Indonesia di Kawasan Konflik'
Jakarta -

Nahas itu terjadi Jumat sore, 25 Maret 2016. Bertepatan dengan libur Paskah. Kapal Brahma 12 yang menarik kapal tongkang Anand 12, bermuatan 7.500 metrik batubara, dibajak salah satu faksi milisi Abu Sayyaf di laut lepas antara Malaysia dan Filipina. Tepatnya di perairan Tawi-tawi, Filipina Selatan, ketika berlayar dari Kalimantan Selatan menuju Filipina.

Mereka baru dibebaskan setelah 36 hari hidup di bawah todongan senjata. Naik turun bukit berjam-jam. Tidur di hutan. Selama kurun waktu tersebut, pemerintah Indonesia di bawah kendali Presiden Joko Widodo dan pemantauan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menjalankan diplomasi total. Semua pihak yang punya akses dan kompeten bergerak.

Bos Grup Media yang juga Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh pun tak berpangku tangan. Ia mengirim tim antara lain anggota Komisi I DPR yang pernah menjadi Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Bangsa Ahmad Baidhowi, dosen Hubungan Internasional UGM Dr Rizal Panggabean, dan reporter Metro TV Desi Fitriani.

Baidhowi dan Rizal, tulis Fenty Effendy dalam buku 'Untold Story Pembebasan 10 ABK Indonesia di Kawasan Konflik' ditunjuk karena pada 2010-2011 keduanya pernah melakukan riset terkait akar terorisme di Mindanao. Keduanya punya jejaring di Filipina Selatan, baik dari kalangan akademisi, LSM, birokrat, hingga tokoh Moro National Liberation Front [MNLF] Nur Misuari dan beberapa faksi kelompok Abu Sayyaf. Selama lebih dari sepekan Baidhowi dan Rizal menghabiskan waktu untuk memetakan pelaku inti penyanderaan.

Bukan kelompok Nur Misuari maupun Al-Habsy. Para sandera dikuasai kelompok Grand Alpha. Kepastian itu didapat pada 16 April, dan para sandera dipastikan masih dalam kondisi baik. Entah siapa nama asli Grand Alpha. Hanya saja di buku ini dia digambarkan berusia 63 tahun. Tubuhnya kecil tapi kekar, berjanggut putih, dan biasa menyelipkan pedang di kiri-kanan pinggangnya. Bisa berbahasa Melayu, Inggris, dan Arab.

Sepanjang dua minggu komunikasi dengan Grand Alpha, menurut Baidhowi, tak ada pembicaraan mengenai uang tebusan. Sebagai orang yang lama berkecimpung mengurusi sekolah, dia menawarkan isu pendidikan sebagai pintu masuk negosiasi. Sebuah tawaran tentang masa depan. Bagi Baidhowi kesalahan umum yang selama ini kerap terjadi dalam menangani konflik adalah tidak turut membicarakan isu pendidikan. Padahal itu adalah hak dasar, sama seperti pangan dan kesehatan.

Dalam sebuah percakapan via telepon Baidhowi mempertanyakan alasan Grand Alpha memerangi pemerintah Filipina. Kalau pun memang dasarnya adalah jihad fisabilillah tak seharusnya mengorbankan masa depan anak-anak mereka sendiri. Mereka butuh pendidikan untuk memperbaiki dan mengisi masa depannya sendiri. Bagaimana Mindanao yang kaya minyak, gas, mineral, dan sumber daya alam lainnya akan dikelola dengan baik bila generasi penerusnya tak berpendidikan.



Simak Video "Video: Yeay! Insentif Guru Honorer Bakal Naik Jadi Rp 400 Ribu di 2026"


(jat/pal)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork