Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) berencana memperkecil ukuran rumah subsidi menjadi 18 meter persegi. Di samping terlalu sempit, rumah subsidi kecil ini dinilai akan memicu kemiskinan baru jika hunian dan fasilitas pendukungnya tak berkualitas.
Pandangan tersebut disampaikan pakar pembangunan sosial dan kesejahteraan (PSDK) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nurhadi PhD.
Ia menjelaskan, program rumah subsidi seluas 18 meter persegi per unit di satu sisi menunjukkan niat negara untuk menjamin hak tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, jika mengutamakan kuantitas alih-alih kualitas, pembangunan rumah subsidi berukuran kecil secara masif dapat memicu terbentuknya kawasan-kawasan baru yang terkesan kumuh (slum area) tanpa dukungan fasilitas memadai.
"Kebijakan ini perlu ditinjau ulang agar tidak menimbulkan kemiskinan baru di masa depan," kata Nurhadi, Senin (7/7/2025), dikutip dari laman UGM.
Nurhadi menambahkan, rumah subsidi yang tidak berkualitas juga berisiko bagi kesehatan mental, terutama bagi ibu dan anak. Hal ini turut meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Tidak Cukup Hanya Menyediakan Rumah
Nurhadi menekankan, negara tidak cukup menyediakan rumah untuk memenuhi kebutuhan dasar warga, tetapi juga harus memerhatikan kualitas dan kelayakannya. Keberadaannya harus selaras dengan ketersediaan fasilitas dasar seperti air bersih, sanitasi, akses ke pekerjaan, transportasi, dan layanan kesehatan.
"Rumah tanpa pelayanan bukanlah rumah. Namun, itu adalah tempat berlindung tanpa martabat," ucapnya.
Alternatif Rumah Susun
Dengan anggaran yang sama, pembangunan rumah susun menurut Nurhadi bisa jadi alternatif lebih baik. Unit yang dicicil warga bisa berukuran lebih luas dan disertai fasilitas ruang publik bersama. Opsi ini menurutnya dapat memberi hunian yang lebih manusiawi dan layak bagi warga.
Ia menambahkan, pemerintah juga perlu mendengar perspektif warga berpenghasilan rendah soal definisi rumah layak bagi mereka. Sebab, kelompok masyarakat inilah yang jadi sasaran kebijakan rumah subsidi.
"Perlu dilakukan survei langsung kepada masyarakat MBR. Bagaimana yang mereka anggap sebagai rumah layak. Konsultasi ulang dengan calon penghuni sangat diperlukan," ucapnya.
18 M Persegi, Hunian Darurat Usai Bencana
Selaras, pakar teknik arsitektur UGM Ir Ikaputra MEng PhD mengatakan ukuran 18 meter persegi sebenarnya standar minimal hunian darurat pascabencana. Jenis rumah ini biasanya dihuni korban bencana dan bisa diterima karena situasinya bersifat darurat, bukan rumah permanen.
"Delapan belas meter persegi itu merupakan standar minimum internasional untuk hunian darurat pascabencana. Konteksnya bukan untuk permanen. Jika memang ingin digunakan untuk jangka panjang, maka perencanaan tumbuhnya harus jelas," kata Ikaputra, Kamis (3/7/2025), dikutip dari laman kampus.
Perlu Rancangan Rumah Tumbuh
Sementara itu, jika rumah subsidi 18 meter persegi ingin dianggap layak, Ikaputra mengatakan lahannya harus bisa memungkinkan rancangan rumah tumbuh. Maksudnya yakni rumah dapat dibangun secara bertahap sesuai kemampuan ekonomi pemiliknya.
Soal rumah tumbuh, ia mengkritisi keterbatasan luasan lahan rumah subsidi. Pasalnya, jika rumah jadi dibangun di atas lahan seluas 25 meter persegi, maka hanya tersisa 7 meter persegi sebagai ruang tumbuh.
Sementara itu, ia menyarankan luasan minimum yang memadai adalah sekitar 50 meter persegi. Luas ini cukup untuk memungkinkan pertumbuhan bangunan, penambahan ruang secara bertahap sesuai kebutuhan keluarga, dan keberadaan pohon dan sistem drainase yang sehat. Ketiadaan ruang tumbuh ini yang menurutnya picu risiko peningkatan kawasan padat dan kumuh.
"Masalahnya bukan di rumah 18 meter perseginya, tapi di lahannya yang terlalu sempit. Idealnya, lahan harus bisa mengakomodasi pengembangan setidaknya dua kali lipat dari bangunan awal, bahkan ditambah ruang terbuka hijau," jelasnya.
Ia menekankan, rencana pertumbuhan rumah sejak awal bukan hanya soal pengembangan rumah bertahap, tetapi juga struktur bangunan yang aman pada bencana dan tata ruang yang mendukung kehidupan keluarga berkelanjutan.
Berkaca pada pengalaman UGM dalam membangun rumah pascabencana gempa di Yogyakarta dan letusan Merapi, ia mengatakan rumah tumbuh bisa berhasil jika desain arsitektural dan strukturalnya dirancang sejak awal.
"Yang penting bukan hanya besar rumahnya, tapi bagaimana rumah itu bisa berkembang dengan aman dan manusiawi. Perencanaannya ini penting dan harus jelas dari awal karena rumah layak bukan hanya soal luas, tapi juga soal hidup yang layak di dalamnya. Jangan sampai niat baik menghadirkan hunian malah berujung pada kawasan yang tidak layak," ucapnya.
Opsi Rusunawa
Senada dengan Nurhadi, Ikaputra mengusulkan alternatif selain rumah tumbuh horizontal berupa pembangunan rumah susun sewa (rusunawa). Opsi ini menurutnya bisa merespons isu keterbatasan dan harga mahal tanah di kawasan perkotaan.
Jika program rumah subsidi diganti jadi rusunawa, ia mengingatkan fasilitas ini perlu diikuti dengan penyediaan akses transportasi publik yang terjangkau.
"Kalau rumah susun dibangun di pinggiran kota yang harga tanahnya lebih murah, maka harus ada akses yang mudah ke tempat kerja, seperti stasiun atau angkutan umum murah sehingga efisien bagi semua pihak," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri PKP Maruarar Sirait mengatakan ukuran rumah subsidi 18 meter persegi merespons keinginan warga untuk tinggal tidak terlalu jauh dari perkotaan. Sementara itu, rumah subsidi yang lebih luas tidak berada di perkotaan karena lahan yang mahal.
"Kemudian, saya juga sudah bertemu dengan banyak ekosistem. Di antaranya adalah konsumen. Konsumen itu saya dengar. Kita kan perlu mendengarkan konsumen. Kalau nggak kita nggak dengerin konsumen, kita nggak tau maunya apa. Konsumen juga soal tempat yang tidak terlalu jauh di kota itu menjadi penting sekali," kata Maruarar di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (18/6/2025), dilansir dari detiknews.
(twu/nwk)