Koloni penguin merupakan komunitas yang hidup dan banyak ditemui di Benua Antartika. Namun habitat mereka tersebut menjadi terancam karena pemanasan global yang semakin tak karuan.
Pada 2024, perairan sekitar Antartika mengalami penyusutan hingga titik terendah yang menandakan dampak pemanasan global. Fenomena tersebut terjadi selama tiga tahun berturut-turut.
"Luas es laut Antartika menurun dan sebagian besar tetap lebih rendah dari biasanya. Selama tujuh tahun terakhir, kami telah mengalami tiga rekor terendah," ujar ilmuwan es laut Walt Meier dari NSIDC, dikutip dari laman NASA.
Lewat satelit, ilmuwan-ilmuwan NASA mengamati luas es laut rata-rata di Antartika. Analisis ini didasarkan pada data yang dikumpulkan oleh sensor gelombang mikro di satelit Nimbus-7, yang dioperasikan bersama oleh NASA dan Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA).
Ilmuwan mengatakan luas es laut yang mengelilingi Benua Antartika berfluktuasi secara drastis dari tahun ke tahun. Sehingga selama beberapa tahun terakhir, lapisan es di sekitar Antartika menurun drastis.
Kotoran Penguin Hasilkan Gas Pembentuk Awan
Profesor sekaligus peneliti dari Department of Engineering & Science Education, Clemson University, Matthew Boyer, dalam makalahnya yang dipublikasikan di jurnal Nature mengungkap fakta menarik soal kotoran penguin yang bisa membantu mendinginkan Antartika.
Ia bersama tim meneliti faktor apa yang bisa membuat benua Antartika bisa tetap dingin. Ternyata tak jauh dari peran penghuni benua itu sendiri yakni koloni penguin.
Tumpukkan kotoran penguin di sana dapat menghasilkan gas yang dapat membantu pembentukkan awan hujan.
"Antartika seperti laboratorium yang ideal. Tidak adanya polusi yang disebabkan manusia, membuat banyaknya gas amonia pembentuk awan," kata Boyer dikutip dari Science Alert.
Gas tersebut utamanya dihasilkan oleh kotoran penguin. Saat amonia bercampur dengan gas yang mengandung sulfur dari fitoplankton, maka pembentukkan awan jadi semakin mudah.
Boyer menyebut amonia yang terbawa dari biji guano penguin dapat menutupi awan yang berada di atas pesisir Antartika. Sehingga awan tersebut jadi menghalangi sinar matahari dan menekan suhu.
Dalam membuktikannya, Boyer mengamati pangkalan di Pulau Seymour, sebelah utara Antartika. Di sana ada koloni penguin dan fitoplankton yang berfotosintesis.
Ia dan tim meneliti selama tiga bulan pada musim panas. Saat penguin ramai dan fitoplankton sedang pada puncak fotosintesis, Boyer memantau arah angin, tingkat amonia serta aerosol yang terbentuk.
Amonia yang dihasilkan 60.000 ekor penguin tersebut meningkat 1.000 kali lipat. Saat penguin-penguin pergi bermigrasi selama satu bulan, konsentrasi amonia masih 100 kali lebih tinggi.
Untuk meyakinkan temuan, Boyer memverifikasi asal dari amonia lewat sidik jari penguin. Hasilnya benar, amonia berasal dari penguin.
Awan Memantulkan Radiasi Matahari ke Angkasa
Di sisi lain, awan pada dasarnya mempunyai efek pendinginan bersih. Awan akan memantulkan kembali radiasi Matahari ke angkasa.
Mekanisme tersebut terjadi pada pemodelan burung laut di Arktik. Boyer dan tim yakin mekanisme di Antartika juga mirip.
Akan tetapi, hal tersebut tergantung juga pada apa yang ada di bawah awan. Energi Matahari dapat dipantulkan oleh lapisan es atau gletser.
Dengan begitu, awan di atas permukaannya bisa memerangkap panas inframerah. Pengaruhnya bergantung kembali pada tempat melayangnya awan atau terbentuknya.
Hasil pengamatan Boyer membuka lagi keterkaitan antara kehidupan dan atmosfer. Namun, peneliti mengklaim belum adanya eksperimen langsung di Antartika untuk membuktikan pengaruh kotoran penguin.
"Untuk benar-benar mengukur proses ini dan melihat pengaruhnya di Antartika belum dilakukan," tuturnya.
(cyu/faz)