Gempa megathrust bukan hal baru di Indonesia. Ada 16 zona megathrust di Indonesia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan potensi megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut relatif lebih tinggi dibandingkan daerah megathrust lainnya.
"Jadi yang relatif lebih tinggi di Selat Sunda-Banten dan Mentawai-Siberut. Sehingga bukan prediksi, tapi memonitoring, kemudian nanti yang diprediksi adalah tsunaminya, bukan gempa buminya," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR di Kompleks DPR RI pada Selasa (27/8/2024) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, Peneliti Ahli Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Nuraini Rahma Hanifa mengatakan sebagian besar gempa megathrust dan tsunami terjadi di sepanjang Sumatera, beberapa di Jawa, dan cukup banyak di Indonesia timur.
Sejumlah lokasi tampak kosong, tetapi sebetulnya bukan berarti tidak ada potensi tsunami, yang disebut sebagai seismic gap. Maksud dari seismic gap adalah area yang memungkinkan terjadi gempa besar kapan saja.
Lokasi Megathrust di Indonesia dan Ancamannya
Rahma menerangkan, berdasarkan peta gempa 2017 yang tengah diperbarui dan diproyeksikan rampung pada akhir 2024, lokasi megathrust di Indonesia pada umumnya berlokasi di sisi barat Sumatera sampai selatan Jawa.
Ukuran bidang megathrust tersebut, menurut Rahma, seukuran Pulau Jawa.
"Bidang megathrust ini seukuran Pulau Jawa. Bayangkan jika bergerak 20 meter secara serentak, goncangannya akan sangat besar," ujarnya.
Di selatan Pulau Jawa terdapat megathrust yang membentang sepanjang 1.000 kilometer dengan bidang kontak lebarnya 200 kilometer dan menghujam sampai kedalaman sekitar 60 kilometer. Megathrust tersebut terus mengakumulasi energi yang siap lepas kapan saja.
"Di bawah Pulau Jawa, terdapat lempeng samudra Indo-Australia yang menghujam ke bawah selatan Jawa, sedangkan di atasnya ada lempeng kontinental. Pertemuan antara lempeng samudra dan lempeng kontinental inilah yang disebut bidang megathrust," jelas Rahma.
Ancaman Primer dan Sekunder Megathrust
Koordinator Kelompok Riset Geohazard Risk & Resilience itu mengatakan, dalam konsep bencana, ada hal yang bisa dan tidak bisa dikontrol, seperti pergerakan bumi dan pertumbuhan penduduk. Menurutnya, seperti dikutip dari keterangan dalam situs resmi BRIN, risiko bencana adalah fungsi bahaya dan kerentanan yang dibagi dengan kapasitas atau kemampuan adaptasi.
"Kerentanan ini berhubungan dengan eksposur atau pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko bencana dari potensi megathrust, kapasitas adaptasi penduduk harus ditingkatkan," tegasnya.
Rahma menyebut, apabila kapasitas adaptasi penduduk tidak ditingkatkan, padahal sudah tahu akan adanya bencana dan tidak mengambil tindakan apa pun, maka kapasitas adaptasi tersebut rendah dan meningkatkan risiko bencana.
Dia menekankan urgensi pemahaman yang baik soal megathrust demi peningkatan kapasitas adaptasi. Ancaman megathrust terbagi jadi ancaman primer dan sekunder.
"Ancaman dari megathrust terbagi menjadi ancaman primer seperti goncangan gempa permukaan dan surface rupture. Kemudian ada ancaman sekunder seperti tsunami, longsor, likuifaksi, dan kebakaran," jelasnya.
Lulusan S3 Nagoya University itu pun sempat menjelaskan, megathrust adalah patahan naik yang sangat besar. Indonesia yang ada di atas ring of fire mempunyai wilayah yang luas dan rentan akan hal ini.
"Kita bisa hidup berdampingan dengan fenomena megathrust, dan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kita memang harus hidup bersama dengan megathrust, apalagi kita berada di negara kepulauan," ucap Rahma.
Mitigasi Dampak Megathrust
Menurut Rahma, hasil riset yang sudah banyak dilakukan bisa berkontribusi dalam pengurangan risiko gempa. Dia mengatakan megathrust dan potensi gempanya adalah nyata, tetapi hal ini jadi bagian dari fenomena alam yang harus dihadapi dengan adaptasi dan mitigasi.
Rahma menjelaskan megathrust pertama kali jadi perhatian utama pada 2011 dengan semakin banyak riset yang dilakukan dan penerapan hasil riset yang berkembang. Dia mengatakan upaya menjembatani antara riset dan kebijakan sangatlah penting guna membangun mitigasinya.
(nah/twu)