Para pakar tak henti memberikan peringatan atas ancaman megathrust. Pasalnya, megathrust dapat memicu gempa dan tsunami yang bisa mencapai pesisir Jakarta.
Seperti dikatakan oleh peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nuraini Rahma Hanifa. Ia mengingatkan potensi gempa megathrust bisa datang kapan saja.
"Potensi megathrust ini dapat memicu goncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam," katanya dilansir dari laman BRIN, ditulis Senin (9/1/2025).
Dari hasil tinjauan Rahma, segmen megathrust di selatan Jawa termasuk Selat Sunda punya energi tektonik yang signifikan. Keberadaannya dapat memicu gempa dengan kekuatan magnitudo 8,7-9,1.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tsunami di Pesisir Jakarta Bisa Capai 1,8 Meter
Akibat goncangan kuat megathrust ini, beberapa perairan dapat mengalami tsunami. Untuk pesisir selatan Jawa ketinggian tsunaminya bisa mencapai 20 meter, Selat Sunda 3-15 meter dan pesisir utara Jakarta bisa sampai 1,8 meter.
"Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa tetapi juga di wilayah pesisir lainnya," tutur Rahma.
Hasil riset paleotsunami Rahma menunjukkan gempa megathrust dapat di selatan Jawa punya periode ulang 400-600 tahun. Adapun kejadian terakhir adalah tahun 1699 sehingga masa energi yang tersimpan pada masa sekarang berada di titik kritis.
"Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa," tegasnya.
Upaya Mitigasi Potensi Bencana Megathrust
Hingga saat ini BRIN bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan institusi lain terus mengupayakan penguatan sistem peringatan dini tsunami. Terutama di wilayah selatan Jawa dan Selat Sunda.
"Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemasangan sensor deteksi perubahan muka air laut di kawasan rawan tsunami," kata Rahma.
Rahma kemudian menekankan pentingnya mitigasi lewat pendekatan struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural contohnya pembangunan tanggul penahan tsunami.
Kemudian, perlu juga diperhatikan pembangunan ruang minimal 250 meter dari bibir pantai (jarak aman). Contoh upaya struktural lainnya adalah membangun hutan pesisir atau vegetasi alami.
Sedangkan pendekatan non-struktural berupa edukasi kepada masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana. Mulai dari pelatihan simulasi evakuasi hingga penyediaan jalur dan lokasi evakuasi.
"Kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat," ujarnya.
Sementara itu, untuk wilayah perkotaan perlu dilakukan retrofitting atau penguatan struktur bangunan. Retrofitting penting dilakukan di kawasan padat penduduk.
"Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena guncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa," tambahnya.
(cyu/nwk)