Benarkah Makanan Fermentasi Memicu Pertumbuhan Otak? Ini Faktanya

ADVERTISEMENT

Benarkah Makanan Fermentasi Memicu Pertumbuhan Otak? Ini Faktanya

Luthfi Zian Nasifah - detikEdu
Rabu, 06 Mar 2024 10:00 WIB
5 Tanda Tubuh Alergi  Makanan Fermentasi, Kamu Perlu Tahu!
Foto: Getty Images/iStockphoto/Alexander Donin/Ilustrasi makanan fermentasi
Jakarta -

Masih menjadi misteri bagaimana otak berevolusi dari otak primata yang kecil menjadi otak besar yang merupakan sumber kreativitas dan kompleks. Hal ini yang kemudian menjadi dasar penelitian bagi banyak ilmuwan untuk mengetahui sebenarnya.

Para ilmuwan dapat menentukan kapan nenek moyang evolusioner kita mengembangkan otak yang lebih besar, yang ukurannya kira-kira tiga kali lipat seiring evolusi manusia dari primata bipedal yang dikenal sebagai Australopithecus.

Namun, apa yang mendorong revolusi otak ini masih menjadi pertanyaan bagi para ilmuwan. Beberapa orang berteori karena penggunaan api dan penemuan memasak serta kesanggupan untuk menyediakan makanan yang cukup bagi nenek moyang berotak besar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, sebuah teori baru menunjukkan bahwa fermentasi ternyata dapat menjadi pemicu yang berbeda terhadap evolusi otak.

Perubahan Pola Makan Menjadi Kunci Pertumbuhan Otak

Dalam bukunya yang berjudul "Fermentation technology as a driver of human brain expansion", Erin Hecht, menjelaskan bahwa kunci memahami pertumbuhan otak berakar dari apa dan bagaimana manusia makan.

ADVERTISEMENT

"Secara metabolik, jaringan otak mahal karena membutuhkan banyak kalori agar terus berjalan dan di sebagian besar hewan memiliki cukup energi untuk bertahan hidup," ujar Hecht dalam situs Harvard.

Diketahui, nenek moyang Australopithecus yang berotak besar dapat bertahan hidup karena adanya perubahan pola makan.

Teori juga menunjukkan bahwa perubahan dalam makanan yang dikonsumsi atau penemuan memasak memberi mereka lebih banyak kalori yang dapat digunakan untuk metabolisme otak.

"Kapasitas tengkorak nenek moyang berkembang 2,5 juta tahun yang lalu, memberi kita sekitar 1 juta tahun antara peningkatan ukuran otak dan kemungkinan munculnya teknologi memasak. Perubahan pola makan telah berkontribusi mengatasi masalah metabolisme dan fermentasi menjadi salah satu faktor yang memungkinkan," kata Katherine L. Bryan, peneliti di Institute for Language, Communication, and the Brain di Aix-Marseille Universite, Perancis.

Kandungan Daging yang Dapat Menumbuhkan Otak dan IQ

Pakar mengatakan bahwa primata mulai berpindah dari hutan tropis ke sabana sekitar 6 juta tahun yang lalu. Wilayah prasejarah ini menyediakan buah-buahan dan sayur-sayuran sepanjang tahun.

Namun, iklim sabana berubah dan mulai mengalami kekeringan. Masih ada beberapa mamalia yang dapat beradaptasi.

Nenek moyang menggunakan bahan makanan seperti daging untuk membangun dan memelihara otak. Daging mulai menjadi sumber makanan bagi para nenek moyang di zaman itu.

Dikutip dari laman Carni Sostenibili, dokter anak Universitas California, Charlotte Neumann, telah mempelajari adanya hubungan antara daging dan pikiran. Menurutnya, mikronutrien dalam daging menjadi bagian penting dari pola makan.

Hal serupa juga dijelaskan dalam penelitian Direktur Institute for the Developing Mind di Rumah Sakit Anak Los Angeles, Bradley Peterson, yang mengatakan bahwa daging membantu fungsi otak dan meningkatkan IQ karena kadar zat besi nya yang tinggi.

"Otak pun mulai mengalami perkembangan seperti neuron yang semakin kompleks, membentuk dendrit seperti cabang yang tertutup duri," ujarnya.

Bukti pada Fermentasi

Hecht yakin bahwa sebelum otak membesar, terjadi perubahan pola makan. Para peneliti juga mencatat penelitiannya selama beberapa tahun terakhir bahwa konsumsi daging busuk berkontribusi pada perubahan pola makan.

Hecht dan timnya menunjukkan hipotesis penelitian yang berbeda, yaitu ketika makanan yang disimpan atau difermentasi dan makanan yang dicerna sebelumnya, dapat menyediakan bentuk nutrisi yang lebih mudah diakses.

Makanan tersebut juga dapat memberi bahan bakar pada otak yang lebih besar dan memungkinkan nenek moyang bertahan hidup dan berkembang melalui seleksi alam.

"Studi tambahan tentang respon otak terhadap makanan yang difermentasi dan non-fermentasi dapat berguna, ditambah menggunakan DNA purba," ucap Hecht.

Para peneliti menyimpulkan bahwa hipotesis fermentasi eksternal yang diusulkan untuk menunjukkan adopsi teknologi fermentasi, adalah mekanisme kunci pertumbuhan otak dan pengurangan usus.

Mereka juga menyimpulkan bahwa konversi fermentasi usus menjadi praktik eksternal yang mungkin menjadi inovasi yang signifikan, yang mengatur kondisi metabolisme untuk pemilihan pertumbuhan otak.




(faz/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads