Hadapi Perubahan Iklim, UGM Usul Masyarakat Kembali ke Bangunan Kayu

ADVERTISEMENT

Hadapi Perubahan Iklim, UGM Usul Masyarakat Kembali ke Bangunan Kayu

Nikita Rosa - detikEdu
Senin, 06 Nov 2023 13:00 WIB
Pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II-2021 diramal tembus 7%. BI menyebut hal ini karena pemulihan di sektor pendukung turut mendorong ekonomi nasional.
UGM Usul Kembali ke Bangunan Kayu. (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -

Suhu global tengah memasuki titik mendidih. Ilmuwan meyakini kenaikan suhu ini merupakan ulah perubahan iklim.

Perubahan iklim merupakan akibat dari akumulasi emisi karbon di atmosfer. Berbagai sektor sedang berlomba-lomba mencari alternatif untuk mengurangi produksi emisi karbon, termasuk sektor perumahan.

"Kita ketahui bersama bahwa dampak pemanasan global yang memicu perubahan iklim, anomali cuaca, dan cuaca ekstrem ini disebabkan meningkatnya emisi karbon," ujar Ir. Diana Kusumastuti, selaku Direktur Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI dalam laman Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (6/11/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diana menuturkan, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan target Indonesia dalam mencapai net zero emission selambatnya pada tahun 2060. Sebelumnya pada 23 September 2022, Indonesia juga menyampaikan perubahan target kepada sekretariat UNFCCC, yaitu peningkatan target penurunan emisi dari semula 29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri.

"Dengan demikian, perubahan target tersebut merupakan komitmen Indonesia yang diratifikasi kebijakan internasional," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Bangunan Termasuk Penyumbang Emisi Karbon

Bangunan atau konstruksi menjadi penyumbang emisi karbon terbesar, yakni sebanyak 30% dari total emisi karbon dunia. Menyadari urgensi tersebut, Fakultas Teknik bersama Fakultas Kehutanan UGM mengusung inovasi pembangunan yang berbahan dasar kayu yang terbukti dapat menyerap karbon.

Diana menjelaskan bahwa saat ini semua bangunan gedung di Indonesia menggunakan konstruksi besi dan semen yang menyumbang karbon. Untuk itu, pemanfaatan bahan bangunan berkelanjutan dengan emisi karbon rendah perlu didorong.

"Bahan kayu ini bersifat renewable dan memiliki periode tumbuh yang pendek, 5-10 tahun. Kelebihan material kayu ini bahkan bisa diterapkan pada bangunan gedung," tambah Diana.

Bangunan Kayu Bisa Serap 31 Ribu Karbon

Pemakaian material kayu sebagai bahan dasar umum bangunan telah lama ditinggalkan. Sebaliknya, bangunan kayu terbukti 40-50% lebih ringan dibanding bangunan beton dan besi.

Sifat kayu sendiri dinilai memiliki elastisitas hingga titik tertentu. Berbeda dengan semen dan beton yang tidak memiliki elastisitas.

Kelebihan ini membuat bangunan kayu cenderung lebih tahan terhadap bencana gempa. Tak hanya itu, gedung tinggi berbahan dasar kayu bahkan bisa menyerap hingga 3.100 ton karbon. Sebaliknya, bangunan beton justru mengeluarkan sekitar 1.200 ton karbon.

Kendati demikian, inovasi penggunaan kembali kayu sebagai bahan bangunan dinilai perlu diiringi dengan strategi berkelanjutan.

"Kita pernah mengalami deforestasi yang berlebihan, sehingga seolah-olah menggunakan kayu itu merusak hutan. Padahal sebenarnya, kayu itu kan produk yang renewable, asal kita menanamnya," jelas Ir Tomy Listyanto, Pakar Kehutanan UGM.

Lebih lanjut, pembangunan berbahan dasar kayu dapat menjadi alternatif yang berpotensi besar. Namun untuk saat ini, inovasi tersebut perlu dikaji ulang dari segi kebijakan dan aturan pemerintah agar dapat menerapkan pembangunan berkelanjutan.




(nir/twu)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads