Menanam banyak pohon sering dilakukan sebagai upaya untuk melawan perubahan iklim. Tentu saja hal tersebut tidaklah salah karena pohon memberikan banyak manfaat bagi manusia.
Makhluk hidup ini secara aktif menyerap karbon dioksida dari udara untuk proses fotosintesis. Fotosintesis menghasilkan oksigen yang bermanfaat bagi manusia dan energi untuk cadangan makanan pohon.
Pohon tidak pernah memiliki masalah ketika mereka masih hidup, tetapi saat mati ada masalah baru yang ditimbulkan. Ahli ekologi hutan, JΓΆrg MΓΌller menyebutkan saat pohon mati, mereka tidak lagi mampu menyerap karbon dioksida dari atmosfer.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan hilang secara ajaib, karbon dioksida itu akan dilepaskan kembali ke udara dalam jumlah yang besar. Faktanya hutan menyimpan 8% karbon yang berasal dari pohon mati.
"Saat ini 8 persen karbon yang tersimpan di hutan (berasal dari) pohon mati, (bukan) di pohon yang hidup," katanya dikutip dari laman IFL Science.
Emisi Karbon yang Dilepaskan Pohon Mati Sangat Besar
Untuk mengetahui seberapa besar emisi karbon yang dihasilkan dari pohon mati, MΓΌller dan tim melakukan penelitian. Hasilnya, skala emosi karbon yang dilepaskan oleh pohon mati berjumlah sangat besar setiap tahunnya.
Yakni 115% lebih besar dari bahan bakar fosil yang digunakan manusia setiap tahun.
"Kami menemukan bahwa pelepasan karbon tahunan dari kayu mati sekitar 115 persen dari karbon yang dilepaskan oleh manusia. Ini adalah bagian penting dari siklus tersebut," tambah MΓΌller.
Rahasia di Balik Batang Kayu Berusia 3.775 Tahun
Lalu apa yang harus dilakukan manusia? Jawabannya ternyata muncul dari batang kayu berusia 3.775 tahun yang ditemukan tidak sengaja pada tahun 2013 lalu.
Alih-alih hanya dibiarkan tergeletak, ada solusi mengurangi emisi karbon dari pohon mati. Yaitu dengan cara menguburnya.
Metode ini ditemukan melalui studi yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Atmosfer dan Kelautan Universitas Maryland, Amerika Serikat. Ning Zeng, profesor di departemen tersebut sekaligus peneliti utama menjelaskan penemuan tak sengaja batang kayu kuno ini bak suatu keajaiban.
"Ketika ekskavator menarik sebatang kayu dari tanah, tiga ahli ekologi yang saya undang dari Universitas McGill langsung mengidentifikasinya sebagai pohon cedar merah timur," kata Zeng.
Setelah dibandingkan dengan sampel yang baru dipotong dari spesies yang sama, tim menemukan bahwa kayu itu memiliki usia yang tua. Hampir 4.000 tahun!
"(Pohon) diawetkan jauh lebih lama daripada yang seharusnya untuk sebongkah pohon cedar (dan) telah kehilangan kurang dari 5% karbon dioksida yang pernah disimpannya," tambah Zeng.
Namun, apakah mengubur pohon adalah cara yang efektif dan efisien? Kuncinya ternyata terletak pada jenis tanah yang menutupi batang kayu tersebut.
Kayu ini seperti 'dilindungi' oleh tanah liat yang umumnya ditemukan di daerah Quebec, Kanada, tempat penemuannya. Tanah liat diketahui memiliki permeabilitas yang sangat rendah. Karenanya air dan udara tidak sampai ke batang pohon tersebut.
"Itu berarti tanah tersebut mampu melindungi batang kayu dari apapun yang dapat membuatnya busuk. Bukan hanya serangga dan jamu tetapi bahkan oksigen," ungkap Zeng.
Dan hasilnya luar biasa, ketika ditemukan batang kayu bagus dan kokoh. Terbukti betapa bagusnya kayu itu diawetkan.
Hasil akhir penelitian ini sangatlah bermanfaat, mengingat tanah liat cukup mudah ditemukan. Zeng juga menyimpulkan mengubur kayu di tanah liat berpotensi menjadi cara murah untuk mengurangi jumlah gas rumah kaca.
Tetapi ia mengingatkan ini bukan solusi utama dalam melawat perubahan/krisis iklim. Walaupun jika teknik ini dioptimalkan, Zeng memperkirakan kita bisa mengurangi 10 gigaton karbon dioksida setiap tahun.
"Secara kebetulan, jumlah tersebut adalah jumlah yang dibutuhkan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 1,5Β°C. Sehingga ide penguburan pohon mati mungkin layak dipertimbangkan," tutup Zeng.
(det/nah)