Studi Universitas Cambridge: Tekan Pikiran Negatif Baik untuk Kesehatan Mental

ADVERTISEMENT

Studi Universitas Cambridge: Tekan Pikiran Negatif Baik untuk Kesehatan Mental

Novia Aisyah - detikEdu
Minggu, 24 Sep 2023 18:00 WIB
Relaxed serene pretty young woman feel fatigue lounge on comfortable sofa hands behind head rest at home, happy calm lady dream enjoy wellbeing breathing fresh air in cozy home modern living room
Foto: iStock
Jakarta - Pada umumnya kita memahami bahwa menekan pikiran negatif adalah hal yang buruk untuk kesehatan mental. Namun, sebuah studi dari Universitas Cambridge baru-baru ini mengatakan yang sebaliknya.

Para peneliti dari Medical Research Council (MRC) Cognition and Brain Sciences Unit, University of Cambridge melatih 120 relawan di seluruh dunia untuk menekan pikiran atas kejadian negatif yang dapat membuat mereka cemas. Hasilnya tak cuma menjadikan pikiran negatif ini menjadi buram, melainkan juga meningkatkan kesehatan mental para relawan.

"Kita terbiasa dengan gagasan Freud bahwa jika menekan pikiran atau perasaan, maka pikiran ini akan bertahan di alam bawah sadar dan mempengaruhi tindakan serta kesejahteraan kita," ujar Profesor Michael Anderson.

"Inti dari psikoterapi adalah untuk mengeruk pikiran-pikiran negatif ini sehingga kita dapat menghadapinya dan merampas kekuatannya. Dalam beberapa tahun terakhir, kita diberitahu bahwa menekan pikiran pada dasarnya bukan hal yang efektif dan justru menyebabkan orang lebih memikirkan hal tersebut," paparnya.

Pandangan-pandangan tersebut menurut Anderson telah menjadi dogma dalam bidang pengobatan klinis, ditambah dengan pedoman nasional yang mengatakan bahwa menghindari pikiran negatif merupakan perilaku koping maladaptif yang harus dihilangkan dan diatasi contohnya pada depresi, kecemasan, PTSD.

Ketika COVID-19 muncul pada 2020, seperti banyak peneliti lainnya, Profesor Anderson ingin melihat bagaimana penelitiannya dapat digunakan untuk membantu orang melalui pandemi. Ketertarikannya terletak pada mekanisme otak yang dikenal sebagai kontrol penghambat, yakni kemampuan untuk mengesampingkan respons refleksif dan bagaimana hal itu dapat diterapkan pada proses mengingat, juga khususnya untuk berhenti mengingat pikiran negatif ketika dihadapkan dengan pencetus yang kuat terhadap pikiran tersebut.

Dr Zulkayda Mamat yang saat itu menjadi mahasiswa PhD di laboratorium Profesor Anderson dan di Trinity College, Cambridge percaya bahwa kontrol penghambat sangat penting dalam mengatasi trauma yang terjadi pada dirinya sendiri dan banyak orang lain yang pernah ia temui dalam hidup. Dia ingin menganalisis apakah ini merupakan kemampuan bawaan atau sesuatu yang dipelajari.

Profesor Anderson dan Dr Mamat kemudian merekrut 120 orang di 16 negara untuk menguji apakah memang menekan pikiran takut adalah sesuatu yang memungkinkan dan bermanfaat. Temuan mereka dipublikasikan di jurnal Science Advances pada Rabu (20/9/2023).

Proses Eksperimen

Dalam studi tersebut, setiap peserta diminta memikirkan sejumlah skenario yang mungkin terjadi dalam hidup mereka selama dua tahun ke depan. Skenario ini terdiri atas 20 kekhawatiran, 20 harapan dan impian, dan 36 peristiwa netral yang bersifat rutin dan biasa. Kekhawatiran tersebut sudah pasti kecemasan yang menjadi perhatian mereka saat ini, yang berulang kali mengganggu pikiran mereka.

Setiap peristiwa yang dibayangkan harus spesifik bagi dan dapat dibayangkan dengan jelas akan terjadi. Untuk setiap skenario, mereka harus memberikan kata isyarat dan kata kunci spesifik, misalnya:

Negatif: mengunjungi orang tua di rumah sakit akibat COVID-19, dengan isyarat "rumah sakit" dan kata kunci spesifik "pernapasan".
Netral: kunjungan ke ahli kacamata, dengan isyarat "ahli kacamata" dan kata kunci spesifik "Cambridge".
Positif: melihat saudara perempuannya menikah, dengan isyarat "pernikahan" dan kata kunci spesifik "gaun".
Peserta diminta untuk menilai setiap peristiwa berdasarkan sejumlah poin yaitu kejelasan, kemungkinan terjadinya, jaraknya dengan masa depan, tingkat kecemasan terhadap peristiwa tersebut atau tingkat kegembiraan atas peristiwa positif, frekuensi berpikir, tingkat kekhawatiran saat ini, dampak jangka panjang, dan intensitas emosional.

Peserta juga mengisi kuesioner untuk menilai kesehatan mental mereka. Kemudian melalui Zoom Dr Mamat mengajak setiap peserta menjalani pelatihan selama 20 menit, yang mencakup 12 pengulangan "tanpa membayangkan" dan 12 pengulangan "dengan membayangkan", setiap hari selama tiga hari.

Untuk uji coba "tanpa membayangkan", peserta diberi salah satu kata isyarat, diminta untuk mengenali peristiwa tersebut dalam pikiran mereka terlebih dahulu. Kemudian, sambil terus menatap langsung pada isyarat pengingat, mereka diminta untuk berhenti memikirkan peristiwa tersebut, mereka tidak boleh mencoba membayangkan peristiwa itu sendiri atau menggunakan pikiran pengalihan untuk mengalihkan perhatian mereka, melainkan harus mencoba memblokir gambar atau pikiran apa pun yang mungkin muncul. Pada bagian uji coba ini, satu kelompok peserta diberi peristiwa negatif yang diminta untuk ditekan dan kelompok lainnya diberi peristiwa netral.

Untuk uji coba "dengan membayangkan", peserta diberi kata isyarat dan diminta untuk membayangkan kejadian tersebut sejelas mungkin, memikirkan seperti apa kejadiannya, dan membayangkan bagaimana perasaan mereka pada kejadian tersebut. Untuk alasan etis, tidak ada peserta yang diberikan kesempatan untuk membayangkan peristiwa negatif, melainkan hanya peristiwa positif atau netral.

Pikiran Negatif Lebih Kabur

Pada akhir hari ketiga dan tiga bulan kemudian, peserta sekali lagi diminta untuk menilai setiap peristiwa berdasarkan kejelasan, tingkat kecemasan, intensitas emosional, dan sebagainya. Mereka juga diminta menyelesaikan kuesioner untuk menilai perubahan dalam depresi, kecemasan, kekhawatiran, dan kesejahteraan.

"Sangat jelas bahwa pikiran-pikiran peristiwa yang ditekan oleh para peserta menjadi lebih kabur, tidak menimbulkan kecemasan emosional, dibandingkan peristiwa-peristiwa lainnya dan secara keseluruhan," kata Dr Mamat.

"Para peserta mengalami peningkatan dalam hal kesehatan mental mereka. Namun kami melihat efek terbesar ada di antara para peserta yang diberi latihan dalam menekan pikiran-pikiran yang penuh rasa takut, bukan pikiran-pikiran netral," imbuhnya.

Setelah pelatihan, baik tak lama kemudian maupun setelah tiga bulan kemudian para peserta mengatakan bahwa pikiran-pikiran negatif yang mereka tekan menjadi kurang jelas dan tidak terlalu menakutkan. Mereka juga mendapati diri mereka tidak seberapa memikirkan kejadian-kejadian ini.

Menekan pikiran negatif bahkan meningkatkan kesehatan mental di antara peserta yang kemungkinan mengalami gangguan stres pascatrauma, berdasarkan eksperimen ini. Di antara peserta dengan stres pasca-trauma yang menekan pikiran negatif, skor indeks kesehatan mental negatif mereka turun rata-rata sebesar 16% (dibandingkan dengan penurunan 5% pada peserta yang menekan pikiran netral), sedangkan skor indeks kesehatan mental positif meningkat hampir 10%.

Secara umum, orang-orang dengan gejala kesehatan mental yang terbilang buruk pada awal penelitian, mengalami peningkatan lebih baik setelah pelatihan ini, tetapi hanya jika mereka menekan rasa takut mereka. Temuan ini secara langsung bertentangan dengan anggapan bahwa menekan pikiran negatif adalah proses koping yang maladaptif.

Dikutip dari University of Cambridge, pada penelitian ini dijelaskan menekan pikiran negatif tidak mengarah pada "rebound", yakni mengingat kejadian tersebut dengan lebih jelas.

"Apa yang kami temukan bertentangan dengan narasi yang dipahami," kata Profesor Anderson.

"Meskipun diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengonfirmasi penemuan ini, tampaknya hal ini memungkinkan dan bahkan ada potensi bermanfaat untuk secara aktif menekan pikiran-pikiran ketakutan kita," pungkasnya.




(nah/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads