Serangan penembakan massal yang terjadi di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru pada 2019 lalu meninggalkan duka mendalam dan trauma bagi muslim. Sebuah studi menemukan lebih dari 60 persen korban muslim menderita gangguan kesehatan mental seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan depresi.
Dilansir BBC, penembakan pertama berlangsung di Masjid Al Noor, pusat kota Christchurch. Seorang pria bernama Brenton Tarrant menembaki pria, wanita, dan anak-anak di dalam masjid dari jarak dekat dengan senjata api semi-otomatis.
Ia bahkan menyiarkan secara langsung aksi kejam itu melalui Facebook dengan perangkat kamera yang dipasang di kepala. Serangan kedua ia lakukan di Masjid Linwood yang letaknya hanya 5 km dari Masjid Al Noor dan sebelah timur dari pusat kota.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setidaknya 250 penyintas berada di masjid sedangkan 51 orang tewas dan 40 lainnya luka berat akibat tembakan fatal yang dilakukan Brenton Tarrant.
Tim peneliti dari University of Otago melakukan studi terhadap dampak serangan di dua masjid tersebut. Melalui penelitian yang didanai Health Research Council of New Zealand dan Canterbury Medical Research Foundation, tim meneliti dampak kesehatan mental bagi 189 korban serangan teror, anggota keluarga yang berduka, dan komunitas muslim yang lebih luas.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi tinggi kondisi kesehatan mental dengan 61 persen menderita gangguan kecemasan, gangguan depresi mayor (MDD), atau gangguan stres pascatrauma (PTSD) pada suatu waktu setelah serangan. Totalnya 31 persen didiagnosis dengan gangguan kecemasan, 43 persen dengan MDD dan 32 persen dengan PTSD. Banyak yang memiliki kombinasi lebih dari satu kondisi ini.
"Skala dan kekerasan aksi terorisme ini belum pernah terjadi sebelumnya di Aotearoa Selandia Baru modern, yang tidak hanya menyebabkan kerusakan kesehatan mental langsung, tetapi seperti yang telah kami temukan, kerusakan kesehatan mental jangka panjang dan signifikan," kata Dr Ruqayya Sulaiman-Hill, salah satu peneliti utama dari Departemen Kedokteran Psikologi University of Otago, dilansir dari situs University of Otago, Jumat (1/11/2024).
Profesor Caroline Bell yang juga merupakan penulis dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa mereka yang kehilangan anggota keluarga atau merupakan korban yang terluka akibat serangan berkemungkinan besar didiagnosis dengan MDD.
Sementara itu, mereka yang kehilangan anggota keluarga atau merupakan penyintas dari aksi penembakan baik itu terluka maupun tidak, berkemungkinan besar mengalami PTSD. Hal ini menyoroti bahwa terpapar langsung pada serangan tersebut, meski tidak terluka, atau berduka dikaitkan dengan PTSD.
"Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh ancaman yang dirasakan terhadap kehidupan oleh para peserta ini, selain menjadi saksi langsung atas pengalaman yang mengerikan," ujar Profesor Bell.
"Hal ini penting untuk ditekankan, karena kebutuhan kesehatan mental kelompok orang ini mungkin tidak diprioritaskan dibandingkan dengan mereka yang berduka atau terluka, yang dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka dalam mengakses dukungan," lanjutnya.
Studi yang dipublikasikan di Australian dan New Zealand Journal of Psychiatry itu menjadi studi internasional pertama yang meneliti dampak mental setelah serangan teroris yang menargetkan populasi muslim dalam konteks non-muslim.
(aeb/kri)
Komentar Terbanyak
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI
Daftar Kekayaan Sahabat Nabi
Info Lowongan Kerja BP Haji 2026, Merapat!