Apabila rumah sudah dicap berhantu, biasanya akan jauh lebih sulit dijual, bahkan dengan harga paling murah sekalipun. Alasannya karena banyak yang percaya, tinggal di rumah berhantu hanya akan mendapatkan gangguan dari makhluk halus dan membuat penghuninya tidak tenang.
Banyak orang mengaku belum pernah melihat hantu, tetapi jika mendengar cerita rumah berhantu, mereka bisa saja percaya dan enggan untuk memasuki properti tersebut.
Anggapan rumah berhantu itu merujuk pada tempat tinggal yang mantan penghuninya sudah meninggal dunia atau pernah terjadi kejadian mengerikan seperti pembunuhan di sana. Mereka percaya rumah tersebut seakan "merekam" kejadian traumatis atau kekerasan yang sudah terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbanding terbalik dengan anggapan yang tersebar di masyarakat bahwa rumah hantu itu mengerikan. Dilansir IFL Science, sebuah penelitian mengungkapkan rumah angker atau berhantu juga bisa memberikan manfaat kesehatan. Penelitian ini mereka sebut dengan 'recreational fear'.
Saat kita berada di rumah berhantu ada sistem di dalam tubuh kita yang aktif yakni sistem adregenic. Sistem ini memicu suatu hormon yang dapat memicu kita menentukan harus 'melawan atau lari' saat kamu dalam keadaan genting atau bertemu dengan bahaya.
Sistem ini juga yang memicu detak jantung lebih cepat saat kamu menemui hal genting. Saat itulah fungsi imunitas juga bekerja dengan cara memodulasi penanda peradangan yang berkaitan dengan penyakit kronis. Sebab, aktivitas sistem imun akan menurun sementara sehingga mengurangi peradangan.
Rasa yang muncul saat sistem adregenic bekerja bukan perasaan cemas, melainkan rasa takut yang bercampur kesenangan. Perasaan ini mirip pada saat seseorang nonton film horor, pergi ke wahana rumah hantu, olah raga ekstrim dan lainnya.
Selain penelitian tadi, studi lainnya dilakukan di sebuah wahana rumah hantu untuk perubahan pada peserta dengan peradangan tingkat rendah selama dan setelah paparan, dan mengeksplorasi perubahan pada penanda peradangan dan sel imun dari waktu ke waktu.
Dalam penelitian ini ada 113 orang relawan berusia rata-rata 29 tahun yang terlibat di dalamnya. Mereka diminta masuk ke rumah hantu di Vejie, Denmark. Di dalamnya sudah ada berbagai kejutan dari badut-badut yang dirias seram, hantu-hantu ini juga bisa mengejar para peserta, dan memegang properti tambahan untuk menakut-nakuti.
Dari hasil eksperimen yang mereka lakukan, detak jantung para peserta akan didata dan mereka mengambil sampel darah 3 kali yakni sebelum masuk ke rumah hantu, keluar rumah hantu dan tiga hari setelah kejadian.
Sampel darah tersebut digunakan untuk menganalisis penanda inflamasi (hs-CRP) dan sel imun (leukosit).
Dari data yang terkumpul, terungkap seseorang setelah merasakan takut, dapat menekan peradangan dalam tubuhnya. meredakan peradangan. Di antara peserta yang memiliki kadar CRP tinggi pada acara tersebut, 82 persen menunjukkan penurunan kadar hs-CRP setelah tiga hari yang berarti terjadi pengurangan peradangan. Rasa takut tampaknya meningkatkan jumlah sel imun pada beberapa peserta.
Sebagai catatan, ada beberapa keterbatasan dalam studi ini yakni studi ini hanya jangka pendek beberapa pengaruh demografis, mungkin saja ada peserta yang terpengaruh alcohol dan merokok, tidak ada kelompok kontrol untuk studi jangka panjang, dan mereka tidak memiliki data peradangan dasar peserta. Meskipun demikian, hasil studi ini menunjukkan bahwa penelitian lebih lanjut tentang rasa takut rekreasional dan sistem imun mungkin diperlukan.
(aqi/aqi)