Studi: Perfeksionisme dan Tekanan untuk Berprestasi Bisa Rusak Kesehatan Mental

ADVERTISEMENT

Studi: Perfeksionisme dan Tekanan untuk Berprestasi Bisa Rusak Kesehatan Mental

Hani Muthmainnah - detikEdu
Minggu, 20 Okt 2024 18:00 WIB
ilustrasi trophy
Ilustrasi trofi prestasi Foto: ilustrasi/thinkstock
Jakarta -

Mendapatkan juara dalam perlombaan atau mendapatkan peringkat tinggi di kelas adalah sebuah kebanggan tersendiri bagi siswa maupun orang tua. Namun, apakah kalian menyadari bahwa prestasi ini terkadang justru membuat siswa merasa stres, tertekan, dan depresi?

Fenomena ini juga acap digambarkan dalam drama Korea di mana budaya perfeksionisme menuntut siswa untuk mendapatkan peringkat tinggi dan juara. Hal ini seringkali berujung pada tekanan mental.

Alih-alih merasa bahagia, banyak siswa yang mengalami depresi dan bahkan terpaksa mengkonsumsi obat atau melampiaskannya kepada hal-hal yang tidak baik untuk meredakan stres.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jurnalis Amerika Serikat Jennifer Breheny Wallace pada 2019 lalu menulis sebuah artikel untuk The Washington Post sebuah studi yang menyebutkan siswa di sekolah berprestasi dicap sebagai kelompok "berisiko".

Ia pun tertarik mendalami temuan tersebut dengan menggandeng para peneliti di Harvard Graduate School of Education untuk membuat sebuah survei. Survei itu lantas dibagikan secara daring kepada para orang tua melalui jejaring sosialnya pada bulan Februari 2020.

ADVERTISEMENT

Awalnya ia menargetkan mendapat 1.000 responden. Namun ternyata survei tersebut menarik perhatian berbagai pihak dan dalam beberapa hari saja bisa terkumpul 6.500 responden.

Menurut jawaban para orang tua, tekanan untuk sukses berkontribusi terhadap krisis kesehatan mental di kalangan anak muda di AS. Ternyata para ortu pun mengalami krisis tersebut.

Di antara temuan survei tersebut, kata Wallace seperti dikutip dari laman American Psychological Association, 73 % responden setuju bahwa orang tua di komunitas mereka percaya bahwa masuk ke perguruan tinggi tertentu adalah salah satu unsur terpenting untuk kesuksesan di masa depan.

Kemudian 83 % orang tua setuju bahwa keberhasilan akademis anak-anak mereka merupakan cerminan dari pola asuh. Namun, 87 % berharap masa kecil anak-anak mereka tidak terlalu menegangkan.

Keinginan untuk sukses memang sering kali menjadi motivator yang positif. Namun, menurut penelitian psikologis, tekanan yang berat untuk masuk ke kampus terbaik, kesuksesan di tempat kerja, atau menyesuaikan diri dengan pola kesempurnaan yang tidak realistis dapat merusak kesehatan mental.

Sayangnya, hasil dari sejumlah besar penelitian psikologi menemukan fakta bahwa tekanan tersebut terus meningkat.

"Saat ini, ini merupakan semacam semangat zaman. Anda melihat data, dan data tersebut langsung membuat Anda berpikir, ada sesuatu yang terjadi di sini," kata Thomas Curran, PhD, seorang psikolog sosial di London School of Economics dan penulis The Perfection Trap.

Curran menyebut,"Keprihatinan, keraguan, kekhawatiran, tekanan yang ditetapkan secara sosial-semuanya meningkat dengan sangat, sangat cepat."

Tekanan yang Meningkat

Menurut Curran, analisis kondisi sosial dan ekonomi di dunia industri, kehidupan menjadi lebih menantang bagi kaum muda selama 50 tahun terakhir dalam berbagai cara, yang menunjukkan semakin besarnya penekanan pada persaingan dan individualisme.

Seiring dengan kekuatan budaya lainnya, pergeseran ini mungkin meningkatkan tekanan yang dirasakan kaum muda untuk berprestasi, unggul, dan mencapai tingkat kesuksesan dan kesempurnaan yang ideal, kata Curran.

Akibatnya, banyak yang merasa tidak cukup baik, tidak peduli seberapa banyak yang mereka capai. Hal ini pada akhirnya memicu meningkatnya sifat perfeksionis.

Curran dan rekannya mengamati 3 jenis perfeksionisme yang diketahui yaitu perfeksionisme yang berorientasi pada diri sendiri atau versi yang menggambarkan orang-orang yang menetapkan standar diri yang tinggi dan kemudian berusaha untuk mencapainya.

Kemudian, perfeksionisme yang berorientasi pada orang lain atau menggambarkan proyeksi standar yang sangat tinggi pada orang lain. Terakhir perfeksionisme yang ditentukan secara sosial, hal ini merupakan persepsi bahwa orang lain mengharapkan Anda untuk menjadi sempurna dan bahwa Anda perlu memenuhi tuntutan itu untuk mendapatkan persetujuan.

Dalam analisis terhadap 246 penelitian yang melibatkan lebih dari 41.000 mahasiswa di Kanada, Inggris Raya, dan Amerika Serikat, para peneliti menemukan bahwa ketiga bentuk perfeksionisme di atas telah meningkat selama rentang waktu penelitian selama 28 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda mengharapkan lebih banyak dari diri mereka sendiri dan satu sama lain daripada sebelumnya.

Curren menemukan perfeksionisme yang ditentukan secara sosial melonjak paling dramatis yaitu sebesar 33% selama periode penelitian. Angka tersebut lebih dari 2 kali lipat yang terlihat dalam perfeksionisme yang berorientasi pada diri sendiri dan peningkatan 16% dalam perfeksionisme yang berorientasi pada orang lain.

Ia berupaya memperbarui penelitian tersebut, dan temuan barunya, yang masih dalam tahap analisis, menunjukkan bahwa tingkat perfeksionisme yang ditentukan secara sosial terus meningkat secara eksponensial.

"Kami juga melihat kekhawatiran atas kesalahan, keraguan tentang tindakan, hal-hal yang merupakan akibat wajar dari perfeksionisme yang muncul bersama pemikiran perfeksionis," kata Curran. "Hal-hal itu juga meningkat sangat, sangat, sangat cepat."

Adapun ilmuwan psikolog dari University of York, Kanada, Gordon Flett, PhD mengungkap bahwa secara keseluruhan, perfeksionisme memengaruhi sekitar 25 % hingga 30 % anak-anak dan remaja. Tren tersebut bahkan melintasi banyak budaya dan negara.

"Jika ada budaya berprestasi yang melibatkan rasa perlu menjadi sempurna, hal itu tampaknya menjadi lebih menonjol dan lebih luas," ujar Flett.

Pentingnya Keinginan untuk Sukses, tapi...

Menurut para ahli, menumbuhkan keinginan untuk sukses penting untuk memberikan rasa tujuan, makna, kegembiraan, dan kesejahteraan. Namun, ketika orang merasa tidak akan pernah bisa memenuhi harapan, mengejar kesempurnaan dapat merugikan kesehatan mental, yang menyebabkan terputusnya rasa harga diri internal.

Beberapa kekhawatiran terbesar berasal dari perfeksionisme yang ditentukan secara sosial. Seperti diketahui jenis tekanan sosial ini, menurut penelitian Curran, meningkat paling cepat.

Perfeksionisme yang ditentukan secara sosial telah dikaitkan dengan depresi, kecemasan, dan keinginan bunuh diri dalam penelitian yang dilakukan setidaknya selama 3 dekade.

Mantan profesor psikologi di Arizona State University, Suniya Luthar, PhD dan Nina Kumar dalam penelitian di 9 sekolah terbaik AS antara tahun 2015 dan 2019, menemukan bahwa tingkat kecemasan dan depresi para murid secara klinis adalah 6-7 kali lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.

Menurut Kumar, ada kecenderungan kegiatan ekstrakurikuler berkontribusi terhadap masalah tersebut. Kegiatan ekstrakurikuler tersebut diperlukan untuk menyusun resume demi masuk kampus terbaik atau mendapatkan beasiswa.

"Ada perasaan yang menyebar luas bahwa siswa terus-menerus bersaing satu sama lain. Ketimbang hubungan yang seharusnya lebih mendukung," ujar Kumar.

Keinginan yang tak henti-hentinya untuk berprestasi dapat merusak hubungan dan harga diri. Pasalnya orang menjadi sibuk dengan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka, kata Curran.

"Perfeksionisme tidak hanya mengasingkan kita dari diri sendiri. Dalam arti bahwa kita mencoba menjadi orang lain, seseorang yang sempurna, tapi juga mengasingkan kita dari orang lain dalam mengejar standar yang lebih tinggi atau mengungguli orang lain," kata Curran.

"Hal ini menciptakan banyak kesepian."

Flett menambahkan dalam beberapa tahun terakhir, literatur dan studi tentang perfeksionisme sangat meningkat. Hasilnya secara luar biasa menunjukkan kesimpulan yang sama yaitu perfeksionisme meningkat, dan dapat merusak kesehatan mental.




(pal/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads