David O'shea merupakan seorang guru SD ketika menerima penghargaan Best Indie Book Award (BIBA) 2022 kategori Middle Grade Fiction untuk novel perdananya, Class of Nine.
Bagi David, menulis hal-hal yang dekat dengan keseharian dan tekun menuangkan pikiran di atas kertas jadi jalan ninja menulis novel anak.
"Penulis, guru, orang dewasa, anak-anak, siapapun bisa jadi penulis, tuangkan pikiran ke kertas. Lakukan saja. Setelah menulis, baru dipotong bagian mana saja yang dirasa tidak perlu. Kesalahan yang muncul, revisi," ucapnya pada wartawan usai mendongeng pada siswa SD Kebon Jeruk 10, SD Santa Ursula Jakarta, dan anak komunitas baca TaCiTa Jakarta di perayaan Hari Literasi Internasional oleh Kedutaan Besar Australia, di Perpustakaan Jakarta, Kamis (14/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Class of Nine bercerita tentang sembilan anak kelas 5 SD dengan kepribadian yang beragam. Ada si jago olahraga yang percaya diri, anak artsy yang pemalu dan susah menolak permintaan orang, sampai si lucu yang jadi badut kelas.
Lewat point of view (POV) kesembilan tokoh anak dan pak gurunya, David mencoba menyampaikan pesan tentang resiliensi sejak kecil, tidak mudah menyerah, dan berupaya bangkit dari kesulitan.
David berharap, di antara kisah lucu khas masa sekolah, anak-anak yang membaca bukunya bisa semangat dan belajar menjadi kuat di tengah konflik, kehilangan, kesedihan, maupun tragedi di keseharian.
Tips Menulis Novel Anak Versi David O'Shea
1. Menulis Hal yang Dekat
Sejak pandemi, David memanfaatkan waktunya di sela mengajar dari rumah untuk menuangkan pikiran jadi novel anak. Mula-mula, tuturnya, ia fokus berjam-jam menuangkan apa yang terpikir.
Semuanya terilhami dari hal-hal yang dekat darinya, sebagai guru SD yang kerap mengajar anak usia 10-13 tahun.
"Buatku, aku menulis apa yang aku alami di sekolah. Aku menulis hal-hal yang mungkin lucu, dan juga sedih. Penting kadang untuk menyentuh emosi-emosi lain selain happy, jadi kadang ada momen sedih dan kendala," tuturnya.
David sendiri memantapkan diri untuk memilih bentuk fiksi dalam menulis. Baginya, jalur fiksi memungkinkan tulisannya lebih relatable dengan para siswa, sehingga tulisannya bisa dinikmati sekaligus edukatif.
"Pesannya lebih enak disampaikan lewat fiksi ketimbang nonfiksi," tuturnya.
2. Menjaga Karakter
Sembilan karakter anak-anak dan satu guru dipilih David untuk menjadi lakon novelnya. Karakter anak menurutnya dapat ia tuliskan karena sudah memahami anak-anak di usia 10-13 tahun lewat kesehariannya sebagai guru.
"Bagiku jadi mudah untuk terinspirasi dari peristiwa sehari-hari bersama mereka. Di Class of Nine, cerita tentang Jacko (yang gemar olahraga) punya kisah yang mirip di dunia nyata. Juga siswa yang ingin jadi anggota dewan siswa, sehingga harus menjalani pemilihan," kata David.
"Anak yang gagal pemilihan jadi agak bete. Mereka juga jelang remaja, jadi kadang lebih gampang frustasi, lebih emosional. Semoga lewat buku saya, mereka bisa terinspirasi untuk mengatasi masalah-masalah di usia mereka," tuturnya.
David mengaku tidak mendikte apa yang harus terjadi pada tiap karakter. Ia cenderung memilih satu alur cerita dan seiring jalan, muncul jalan tentang bagaimana tiap karakter menghadapinya.
Ia lalu membuat bagian-bagian yang ditulis berdasarkan sudut pandang tiap anak. Alhasil, gaya menulisnya jadi berbeda-beda untuk tiap POV anak, seolah-olah ditulis oleh sekumpulan anak-anak betulan.
"Dari situ aku sadar, oh ini misal sudah bagus, karena aku merasa karakternya real, dan aku rasa merasa masuk ke dalam ceritanya. Masing-masing anak seiring berjalannya cerita jadi punya personality, aku buatkan point of view (POV)-nya, kayak seolah-olah tiap karakter ngasih tahu aku harusnya nulis apa, haha," sambung David.
3. Potong, Revisi, dan Feedback
Puas menuangkan pikirannya hingga selesai, David menuturkan, ia lalu membaca hasil tulisannya. Bagian yang dirasa tidak menarik lalu dipangkas. Bagian yang tersisa kemudian disunting lagi sehingga lebih rapi dari kesalahan ketik dan jadi lebih padu.
"Penting juga buat dapat feedback. Misalnya perlu nggak bagian ini, tapi ragu, minta feedback. Aku minta setelah editing, jadi pastikan sudah di-edit dulu, biar orang juga enak bacanya," kata David.
Baginya, feedback paling berharga datang dari siswanya. Kendati muncul setelah terbit, tetapi pesan sang anak mampu memberikannya kritik yang membangun.
"Salah satu feedback yang paling rewarding buatku itu dari siswa yang baca. Kadang dapat email dari siswa, katanya suka sama bukunya, dia bisa identify sama karakternya, tapi kata-katanya harusnya lebih baik, ini aku setuju sih," tuturnya.
"Senang rasanya dapat feedback, positif rasanya. Butuh feedback untuk bikin buku lebih baik," pungkasnya.
Buku kedua David O'Shea, Slosh, direncanakan akan segera terbit. Buku ini juga berkisah tentang siswa SD di tengah kompetisi Aussie rules, olahraga bola khas Australia.
(twu/faz)