Biofluoresensi Katak: Momen Keluarkan Cahaya Berwarna untuk Berbagai Tujuan

ADVERTISEMENT

Biofluoresensi Katak: Momen Keluarkan Cahaya Berwarna untuk Berbagai Tujuan

Baladan Hadza Firosya - detikEdu
Jumat, 25 Agu 2023 10:00 WIB
Katak Pelangi
Foto: dok Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem)
Jakarta -

Penelitian tentang cahaya yang dihasilkan oleh hewan menjadi topik yang menarik. Terutama ketika ditemukan spesies hewan, seperti katak yang dapat mengeluarkan cahaya yang berbeda.

Pada tahun 2017, sebuah penelitian yang melibatkan ratusan katak di Amerika Selatan telah mengungkapkan fakta menarik bahwa jumlah katak yang memiliki kemampuan biofluoresensi jauh lebih besar daripada perkiraan sebelumnya. Saat itu, peneliti masih belum mengetahui seberapa banyak spesies katak yang mungkin memancarkan fluoresensi ini.

Para peneliti telah merilis temuan mereka dalam sebuah artikel pracetak yang dipublikasikan pada tanggal 28 Juli pada laman bioRxiv.org. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa warna biofluoresensi mungkin memiliki peran penting dalam komunikasi antara individu katak dalam spesies yang sama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak penelitian di tahun itu, para peneliti telah menguji lebih banyak jenis amfibi untuk menilai adanya fluoresensi. Namun, sejauh ini, penyelidikan mengenai biofluoresensi pada katak hanya menggunakan satu atau dua jenis sumber cahaya, biasanya dalam bentuk sinar ungu atau ultraviolet.

Fenomena biofluoresensi ini muncul saat suatu organisme menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, lalu memancarkannya kembali dengan panjang gelombang yang berbeda, seringkali dengan energi yang lebih rendah. Selama beberapa tahun terakhir, para peneliti telah mengamati keberadaan biofluoresensi pada berbagai spesies, bahkan misalnya platipus.

ADVERTISEMENT

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang biofluoresensi pada katak, Courtney Whitcher dan timnya dari Florida State University di Tallahassee melakukan uji coba dengan menggunakan lima jenis sumber cahaya yang berbeda, mencakup rentang panjang gelombang dari hijau hingga ultraviolet.

Dari bulan Maret hingga Mei 2022, tim peneliti berhasil menangkap dan mengamati 528 katak di Brasil, Kolombia, Ekuador, dan Peru. Mereka mengukur intensitas cahaya yang dipancarkan oleh setiap individu katak.

Selama sepuluh minggu pengumpulan data lapangan, para peneliti melakukan pengukuran biofluoresensi pada anggota satu keluarga salamander, satu keluarga cecilian, dan 13 keluarga kodok.

Diperkirakan untuk Berkomunikasi

Penelitian itu menambah persentase keluarga katak yang diuji untuk biofluoresensi dari <17% menjadi 24%. Peneliti juga menambahkan 39 genus dan 151 spesies dalam pengujian ini. Selain itu, persentase genus dan spesies yang peneliti uji masing-masing naik dari 5% menjadi >8%, dan dari 0,55% menjadi 1,98%.

Katak-katak yang memiliki fluoresensi kuat, terutama dalam warna hijau dan oranye, cenderung mengeluarkan cahaya ini saat cahaya biru yang mendominasi suasana senja. Hal ini memiliki kemiripan dengan salamander yang juga mengeluarkan cahaya di bawah cahaya biru.

Fluoresensi pada bagian-bagian tubuh katak yang berpendar kuat kemungkinan memiliki peran penting dalam komunikasi antarkatak. Sebagian besar fluoresensi terfokus di area tenggorokan dan bagian bawah katak, yang biasanya digunakan dalam ritual perkawinan.

"Ketika mereka bersuara, area kantung suara ini akan mengembang dan menyusut," jelas Whitcher yang dikutip dari Science News. Fluoresensi ini mungkin membantu meningkatkan visibilitas mereka.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa cahaya hijau yang dipancarkan mungkin dapat terlihat oleh katak lain, terutama saat senja yang merupakan waktu umum bagi katak untuk berinteraksi dan berpasangan. Sebaliknya, fluoresensi oranye mungkin memiliki tujuan yang berbeda, seperti memberikan sinyal kepada predator atau berfungsi sebagai kamuflase.

Proses Penelitian

Selain itu, dalam rangka mengevaluasi sejumlah kriteria penting, peneliti melakukan serangkaian analisis pada data yang terkumpul. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami lebih dalam tentang fluoresensi pada organisme hidup dan memastikan validitas temuan yang diperoleh.

Peneliti mengevaluasi panjang gelombang eksitasi yang memicu fluoresensi dan membandingkannya dengan panjang gelombang cahaya dominan di lingkungan senja. Residu dari hasil individu diolah dengan uji nonparametrik Kruskal-Wallis dan uji Pairwise Dunn dengan penyesuaian Holm. Data menunjukkan bahwa persentase emisi biofluoresensi berbeda tergantung pada sumber cahaya eksitasi.

Kontras fluoresensi dengan latar belakang juga dievaluasi dengan memeriksa apakah panjang gelombang emisi fluoresen yang dihasilkan oleh cahaya biru menciptakan kontras yang baik dengan panjang gelombang dominan di lingkungan senja. Peneliti menggunakan analisis Kruskal-Wallis dan uji Pairwise Dunn untuk menentukan perbedaan dalam panjang gelombang emisi biofluoresensi.

Kemudian, kesesuaian dengan sensitivitas spektral organisme turut dinilai dengan memeriksa apakah panjang gelombang emisi fluoresen akibat cahaya biru sesuai dengan sensitivitas spektral organisme. Analisis statistik yang serupa diterapkan dengan uji pengacakan untuk mengevaluasi kesesuaian ini.

Temuan peneliti menunjukkan bahwa ada hubungan antara panjang gelombang eksitasi dan panjang gelombang emisi fluoresen. Selain itu, peneliti menemukan bahwa panjang gelombang emisi yang dihasilkan oleh cahaya biru cocok dengan sensitivitas spektral organisme pada panjang gelombang tertentu.

Hasil ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana organisme merespons cahaya dalam lingkungan alami mereka. Temuan ini juga dapat membuka pintu untuk penelitian lebih lanjut dan mendorong pemahaman yang lebih dalam tentang interaksi organisme dengan lingkungannya.




(nah/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads