Materi Terlalu Luas, Pengajaran Sejarah Dunia Baiknya Dimulai dari Mana?

ADVERTISEMENT

Materi Terlalu Luas, Pengajaran Sejarah Dunia Baiknya Dimulai dari Mana?

Zefanya Septiani - detikEdu
Sabtu, 05 Agu 2023 07:00 WIB
Patung di Taman Budaya Tionghoa yang berada di Taman Mini, Jakarta. Singseh atau Tan Sin Ko, Raden Mas Said atau Mangkunegoro 1, Raden Panji Margono, raden Tumenggung Widyaningrat Atau Oey Ing Kiat (bupati Lasem), Sepanjang atau Souw Phan Ciang. Rachman Haryanto/detikcom.
Ilustrasi sejarah Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Pelajaran sejarah dunia di sekolah acap kali menjadi keluhan bagi para siswa. Pasalnya, mereka merasa mendapatkan materi yang begitu banyak sehingga mereka sulit untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam ujian akhir.

Keluhan tersebut tidak hanya datang dari para siswa saja, para guru juga mengeluhkan materi yang diajarkan terlalu luas. Mengajar seluruh sejarah dunia kepada siswa sekolah menengah juga dianggap terlalu berat.

Hal tersebut menyebabkan pendidik di College Board, organisasi nirlaba yang membantu para guru mempersiapkan sekitar 7 juta siswa sekolah menengah untuk kuliah, beberapa waktu lalu menawarkan cara baru untuk pendidikan Advanced Placement (AP) World History.

Untuk diketahui pada sistem pendidikan di Amerika Serikat, kelas AP akan diambil di tingkat sekolah menengah dan dapat diaplikasikan untuk kredit kuliah.

College Board sendiri memiliki lebih dari 6.000 lembaga anggota yang terdiri atas, perguruan tinggi dua tahun, sekolah menengah, dan distrik sekolah.

Dimulai dari Tahun 1450 ke Atas

Para ahli sejarah Board, mengatasi nilai yang rendah dan kepuasan guru yang terhambat dengan menyederhanakan ujian akhir kelas AP World History. Ujian akhir ini hanya akan mencakup materi sejarah tahun 1450 ke atas.

College Board mengungkapkan perubahan ini efektif mulai dari tahun ajaran 2019-2020. Sebelum itu, College Board telah menyesuaikan ide ini dengan para guru di seluruh dunia untuk memberi masukan atau tips, seperti yang dikutip dari laman How Stuff Works?.

"Tidak ada kelas AP lain yang membutuhkan cakupan materi yang sebanyak ini dalam satu tahun ajaran," ujar Board dalam mengumumkan perubahan ini.

"Para guru AP World History telah memberitahu kami selama bertahun-tahun bahwa cakupan materi ini terlalu luas, dan mereka sering harus mengorbankan kedalaman untuk mencakup semuanya dalam satu tahun," tambahnya.

Permasalahan ini sedikit teratasi di perguruan tinggi yang membagi sejarah dunia ke dalam beberapa kelas. Hal ini menyebabkan para mahasiswa dapat mendalami periode waktu atau masa, atau keadaan suatu daerah di dunia pada satu waktu.

Namun, hal ini cukup berbeda bagi para siswa yang harus mempelajari semua cakupan materi sejarah dunia hingga saat ini. Tentunya ini menjadi tantangan tersendiri bagi para siswa.

"Yang saya dengar dari siswa baru saja lulus dari sekolah menengah adalah, 'Ini terlalu banyak. Ada begitu banyak yang harus saya ketahui.' Dan itu membuat mereka stres," ungkap Ari Levine, seorang profesor sejarah di University of Georgia, Amerika Serikat.


Tidak Meninggalkan Materi Sebelumnya

Kendati demikian College Board, tidak meninggalkan pengajaran tentang segala sesuatu yang terjadi sebelum tahun 1450. Anggotanya menyarankan bahwa untuk beberapa sekolah, sejarah dunia dapat disusun selama dua tahun ajaran penuh.

Sayangnya, kredit kuliah sepertinya tidak tersedia untuk kedua kelas tersebut. Board mengatakan bahwa para guru, jika mereka mau atau mereka pikir ada minat dari para siswanya dapat mengajarkan sejarah yang sebelum tahun 1450.

Namun, materi yang diajarkan sebelum tahun 1450 tidak akan masuk ke dalam ujian. Hal ini dilakukan agar para siswa tidak mengalami kesulitan untuk mempelajari materi yang begitu banyak dalam ujian mereka.


Perspektif Berpusat pada Dunia Barat

Keputusan College Board untuk menyempitkan ujian sejarah dunia mendapat tentangan dari berbagai pihak.

Salah satunya adalah American Historical Association (AHA), organisasi profesional terbesar yang melayani sejarawan dalam semua bidang dan profesi.

Presiden AHA Mary Beth Norton dan Direktur Eksekutif AHA James Grossman dalam surat terbuka mengakui cakupan pengajaran sejarah dunia saat ini sangat luas.

Namun, revisi dalam pelajaran sejarah dunia ini kemungkinan akan mengurangi pengajaran sejarah pra-kolonial di tingkat sekolah menengah. Hal ini berisiko menciptakan perspektif yang berpusat pada dunia Barat.

"Padahal saat ini sejarah sebagai ilmu dan sejarah dunia sebagai salah satu bidangnya berusaha untuk mengembalikan sebanyak mungkin suara ke dalam catatan sejarah dan ruang kelas," tulis AHA dalam surat tersebut.

Selain itu, organisasi lain, World History Association juga memiliki keberatan yang serupa. Sejarah dunia bukanlah versi yang lebih panjang dan lebih besar dari sejarah AS atau Eropa, dan memotong materi ini menyimpang dari premis dasar bidang ini.

Hanya dengan memeriksa masa lalu manusia dalam jangka waktu yang sangat lama pemahaman sejarah bersama kemanusiaan bisa diwujudkan, begitu juga tentang interaksi antara manusia dan lingkungan, pola-pola pembangunan negara dan pemerintahan.

Selain itu, akan ada pengetahuan tentang kesamaan dan perbedaan dalam struktur sosial seperti gender atau kelas, perubahan dalam praktik sosial seperti agama atau arsitektur, dan peristiwa-peristiwa besar seperti perkembangan pertanian atau revolusi bahan bakar fosil.

Meski ada keluhan dari para pelajar, Lavine yang punya spesialisasi dalam sejarah budaya dan intelektual China modern awal mengatakan jika melihat dunia pra-modern, ada seluruh aspek pengalaman manusia yang benar-benar non-Barat.

Dunia pra-modern ini menurut Lavine pada dasarnya mencakup tiga perempat dari populasi dunia sebelum Revolusi Industri.

"Begitu banyak dari pengalaman manusia secara keseluruhan bukan tentang orang kulit putih," ujarnya.

Lavine pun mengatakan saat ini kelas sejarah hanya dikenang tidak lebih dari hafalan-hafalan rangkaian tanggal yang tak ada habisnya.

Karena gagasan pengajaran sejarah dalam bentuk tematik adalah penting. "Pengajar bisa memilih sejumlah kecil tema. Harus sangat selektif," ujarnya.

Dengan metode tersebut, Levine bermaksud menunjukkan kepada siswa pentingnya suatu peristiwa dalam arti yang lebih luas daripada sekadar "itu terjadi".

Tujuannya untuk membuat siswa berpikir melalui perspektif sejarah yang berkaitan dengan keberadaan manusia saat ini.


(pal/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads