Mahasiswa Kecanduan Paylater & Konsumtif, Pakar UI Ingatkan Dampaknya

ADVERTISEMENT

Mahasiswa Kecanduan Paylater & Konsumtif, Pakar UI Ingatkan Dampaknya

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 10 Feb 2023 16:00 WIB
Ilustrasi Belanja/Jualan Online
Ilustrasi mahasiswa kena utang paylater dan budaya konsumtif. Foto: Shutterstock/
Jakarta -

Perencana keuangan Prita Hapsari Ghozie, SE, GCertFP, MCom dari Universitas Indonesia (UI) mengingatkan anak muda agar tidak kecanduan paylater dan budaya konsumtif.

Prita mengatakan, budaya konsumtif untuk gaya hidup adalah salah satu penyebab anak muda kesulitan mempersiapkan kebutuhan di masa depan. Lebih lanjut, generasi muda yang memiliki pola konsumtif tinggi akan kesulitan untuk mencicil Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), seperti dikutip dari laman UI, Jumat (10/2/2023).

Ia memprediksi, generasi muda kelahiran tahun 1981-1994 terancam tidak bisa membeli rumah karena kenaikan gaji mereka tidak berimbang dengan harga rumah di pasaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dosen Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI menjelaskan, prediksi ini didasarkan pada hasil riset Rumah123.com dan Karir.com pada 2017 yang menunjukkan bahwa kenaikan rata-rata gaji normal di luar promosi sepanjang 2016 sebesar 10 persen, sementara lonjakan harga rumah minimal 20 persen.

Ia mencatat, berdasarkan survei Indonesia Property Watch (IPW) yang dirilis pada 2022, lebih dari 50 persen milenial memiliki rumah berkat dukungan orang tuanya. Sementara itu, hanya 40,95 persen yang benar-benar menggunakan uang hasil keringat sendiri.

ADVERTISEMENT

Adapun 39,05 persen milenial tersebut dibantu orang tua untuk membayar uang muka atau cicilan rumah. Sebanyak 12,38 persen pun dibantu sepenuhnya oleh orang tua. Selebihnya tidak membeli properti karena mendapat warisan.

Ketahui Candu Paylater

Prita mengatakan, pola konsumtif anak muda ini diperburuk dengan kemudahan akses pembelian barang karena inovasi financial technology (fintech), termasuk fitur Buy Now Pay Later (BNPL) alias paylater.

Ia mengakui, fintech di satu sisi melahirkan transaksi keuangan yang lebih praktis dan aman. Namun, kemudahan ini berbahaya bagi generasi muda yang minim literasi keuangan.

Prita menjelaskan, paylater atau beli sekarang bayar nanti adalah pinjaman untuk membeli barang secara kredit tanpa kartu kredit. Pembayarannya di kemudian hari, bisa sekali bayar atau pakai metode cicilan.

Menurutnya, pilihan cicilan dan paylater menarik bagi masyarakat yang memiliki anggaran terbatas. Tidak keran, beragam fitur paylater disediakan Gojek, OVO, Traveloka, Shopee, Kredivo, dan lain-lain.

Ia mencatat, berdasarkan riset Kredivo dan Katadata pada Juni 2022, 56% responden merasakan manfaat fleksibilitas dengan pembayaran cicilan paylater. Sebanyak 55% responden menilai kemudahan akses paylater membantu mereka mendapatkan kredit.

Sementara itu, 51% responden menilai paylater aman karena terintegrasi dengan e-commerce yang sudah terdaftar dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kenapa Anak Muda Terjerat Utang Paylater?

Di sisi lain, sambungnya kemudahan dalam smartphone ini dapat memicu pengguna membeli barang yang tidak terlalu dibutuhkan.

Ia mencontohkan, sebagian pengguna bahkan memesan makanan, tiket pesawat, dan hotel untuk berlibur meskipun sedang tidak punya uang. Akibatnya, banyak anak muda yang terjerat utang hingga puluhan juta karena tidak mampu melunasi pembayaran.

Menurut Prita, pengguna paylater, khususnya anak muda, berisiko terjerat utang karena belum berpenghasilan tetapi sudah mengambil paylater.

Lebih dari itu, besar pinjaman yang diambil pun di luar batas kemampuan membayarnya. Akhirnya, anak muda terjerat utang dan menjalani skema gali lubang-tutup lubang. Saat utang yang satu belum lunas, mereka justru mengambil utang baru, baik untuk bayar utang yang pertama, maupun membeli barang lain.

CEO ZAP Finance ini menambahkan, minimnya literasi keuangan juga memperparah kondisi anak muda untuk terbebas dari utang terus-menerus. Untuk itu, ia mengingatkan agar anak muda belajar literasi keuangan sehingga membentuk perilaku tidak konsumtif saat belanja.

"Dalam manajemen keuangan, anak muda bisa menggunakan sistem pemisahan rekening. Misalnya, untuk pos biaya hidup (50%), gunakan rekening tabungan; pos saving (30%), gunakan rekening investasi; dan pos gaya hidup (20%), gunakan dompet digital. Dengan begitu, keuangan lebih terkontrol dan perilaku konsumtif generasi muda dapat menurun," jelasnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan framework dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), ada tiga komponen utama dalam mengukur literasi keuangan, yaitu pengetahuan (knowledge), tingkah laku (behaviour), dan sikap (attitude).

"Literasi keuangan yang tepat dapat membuat individu lebih cermat dalam mengelola keuangan dan mampu memilah pembelian barang atau jasa yang dibutuhkan," tuturnya.




(twu/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads