Selama berhari-hari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia berada dalam kondisi terpuruk. Hal ini memicu keramaian di media sosial.
Namun, pada Rabu (26/3/2025) pagi, IHSG menghijau di level 6.400-an.
Dikutip dari detikFinance, berdasarkan RTI, pada Rabu (26/3/2025), IHSG dibuka pada level 6.314,32. IHSG terus menguat dan bertahan di zona hijau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Per 9.25 WIB, IHSG berada di level 6.421,85 atau menguat 186 poin (2,99%). IHSG bergerak di level tertinggi 6.424,53 dan level terendah 6.312,96.
Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Wasiaturrahma menilai rontoknya IHSG ini merupakan implikasi perubahan kondisi ekonomi global.
Menurutnya dinamika geopolitik internasional seperti terpilihnya Donald Trump hingga perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China berdampak pada IHSG Indonesia. Sementara dari faktor domestik, ia menyoroti kebijakan Pemerintah kurang tepat.
Beberapa Latar Belakang IHSG Rontok
Prof Wasiaturrahma menyebut rontoknya IHSG terjadi sejak peresmian Danantara. Kemudian kebijakan populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) turut memengaruhi sentimen negatif pasar.
"Investor itu sangat sensitif terhadap kebijakan populis, seperti MBG, karena orang kalau mau investasi harus melihat kira-kira bagaimana situasi ekonomi dalam negeri," jelas Prof Wasiaturrahma dikutip dari laman resmi Unair pada Rabu (26/3/2025).
"Hal-hal yang menyangkut suatu fundamental ekonomi yang rapuh karena secara fiskal kita tidak mampu ini akan membuat investor ketakutan," lanjutnya.
Prof Wasiaturrahma mengatakan bank-bank yang ditarik oleh Danantara juga berpotensi mengalami systemic risk. Ini menyebabkan IHSG bank-bank tersebut ada di zona merah.
Ia menerangkan, ketidakpercayaan investor terhadap bank adalah tanda-tanda krisis. Kemungkinan lain yang bisa terjadi karena ketidakpercayaan ini adalah penarikan besar-besaran oleh nasabah atau bank rush.
Apa Dampak Terpuruknya IHSG terhadap Perekonomian?
Prof Wasiaturrahma menegaskan pasar modal adalah cermin kepercayaan investor kepada Pemerintah. Ekonomi modern tak dapat dipisahkan dari pasar saham dan obligasi.
Ia menilai selama pendapatan negara belum memadai, maka Pemerintah membutuhkan uang untuk mendanai proyek-proyek melalui pasar tersebut.
Pasar saham adalah salah satu variabel fundamental ekonomi makro. Apabila tergerus, akan berpengaruh pada variabel lainnya.
"IHSG rontok secara langsung akan berpengaruh pada variabel fundamental ekonomi makroekonomi yang lain seperti, nilai tukar, inflasi, suku bunga, dan ujung-ujungnya akan ke pertumbuhan ekonomi," terang Prof Wasiaturrahma.
"Kalau itu sudah kocar-kacir, bukan tidak mungkin terjadi krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Dan pemulihannya itu pasti susah," jelasnya lagi.
Dengan kemungkinan tersebut, menurutnya program Pemerintah perlu memperhatikan dampak jangka pendek, menengah, dan panjang. Sementara, ia mengimbau agar masyarakat bijak memilih investasi.
Prof Wasiaturrahma berpendapat Pemerintah perlu menetapkan skala prioritas, jangan seluruhnya dikerjakan bersamaan. Dari tiga juta rumah, sekolah rakyat, dan sebagainya menurutnya Pemerintah perlu memilih mana yang paling penting dengan berkaca pada kondisi fiskal.
"Kalau ada kebijakan yang berpotensi menghancurkan ekonomi, ya skip dulu. Untuk masyarakat, pilih investasi yang likuid karena bayang-bayang krisis ada di depan kita," imbaunya.
(nah/nwy)