Setidaknya, ada 310 orang meninggal Gunung Everest, baik saat mendaki maupun turun pendakian. Apa penyebab banyak orang meninggal di gunung ini meskipun sudah tercatat ahli dan menyiapkan diri?
Kendati Gunung Everest merupakan gunung tertinggi di dunia jika diukur dari permukaan laut, jatuh dari puncak Gunung Everest di ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl) bukan penyebab utama kematian para pendaki. Berikut penjelasannya.
Faktor Risiko Meninggal di Gunung Everest
Efek Death Zone
Pada 2019, 11 orang meninggal di Death Zone Gunung Everest.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Umumnya, kasus kematian di Gunung Everest disebabkan oleh efek Death Zone, baik secara langsung seperti kehilangan fungsi penting tubuh atau tidak langsung seperti ceroboh dan kelelahan karena kondisi ekstrem di sana.
Death Zone adalah area di atas 8.000 mdpl di Gunung Everest. Di ketinggian ini, sulit untuk bernapas karena ketersediaan oksigen kian menipis, seperti dikutip dari Insider.
Data sampel darah menunjukkan bahwa pendaki di Death Zone hanya mendapat seperempat dari total oksigen yang dibutuhkan tubuh.
"Kondisi ini mirip dengan kondisi oksigen dalam darah pasien sekarat," kata dokter dan pendaki ekspedisi Gunung Everest Jeremy Winsor dalam wawancara dengan blogger Everest Mark Horrell.
Tanpa bantuan oksigen tambahan dari tangki oksigen, duduk di Death Zone lebih lama berisiko memicu gangguan fungsi tubuh, hilang kesadaran, dan kematian.
Kekurangan oksigen memicu detak jantung hingga 140 detak per menit dan berisiko menimbulkan serangan jantung.
Lebih lanjut, kekurangan oksigen juga memicu hipoksia, kondisi kekurangan oksigen di otak. Akibatnya, otak bisa membengkak sehingga muncul gejala mual, muntah, kesulitan berpikir, dan bernalar.
Kekurangan oksigen di otak bisa menyebabkan pendaki lupa di mana ia berada dan mengalami delirium atau bentuk psikosis ketinggian. Di kondisi ini, pendaki bisa melepaskan pakaian dan berbicara dengan teman khayalan.
Antre ke Puncak dan Kehabisan Oksigen
Kasus 11 orang meninggal di Death Zone Gunung Everest diduga karena terlalu ramai pendaki. Sebab, makin banyak pendaki pemula yang mencoba naik Gunung Everest yang kian populer, seperti dikutip dari AP News.
Di pendakian musim semi, jumlah pendaki bisa mencapai 885 orang. Dengan jumlah pendaki sebanyak itu, mereka terpaksa berbaris antre di Death Zone Gunung Everest berjam-jam untuk sampai ke puncak.
Dengan kondisi oksigen terbatas, pendaki Everest umumnya naik dengan bantuan tangki oksigen untuk bernapas.
Masalahnya, karena harus antre berjam-jam, oksigen tambahan dari tangki oksigen jadi cepat habis. Kondisi ekstrem di Death Zone juga membuat pendaki disarankan tidak berlama-lama di sana lebih dari 16-20 jam.
Pendaki Lhakpa Sherpa yang sudah sampai puncak Everest 9 kali menjelaskan, normalnya, sekitar jam 22.00, pendaki meninggalkan Pos 4 dan sampai di puncak dalam 7 jam jalan kaki, berfoto-foto maksimal 20 menit. Lalu, mereka turun dalam 12 jam, idealnya sebelum malam tiba.
Durasi tambahan saat mengantre di Death Zone ini lah yang diperkirakan menjadi penyebab 11 orang tewas duduk menunggu di sana.
Ketinggian, Dingin, dan Buta Sementara Bikin Jatuh
Ketinggian juga memicu penyakit ketinggian pada sejumlah orang, antara lain dengan gejala mual, muntah, dan hilang nafsu makan.
Sementara itu, silau karena salju dan es di sepanjang perjalanan dapat memicu kehilangan penglihatan sementara atau pecahnya pembuluh darah di mata.
Baik di pendakian awal hingga puncak, pendaki perlu memastikan tubuhnya tertutup dengan pakaian hangat agar tidak kelelahan dan terkena frostbite (radang dingin).
Frostbite merupakan kondisi hilangnya sirkulasi darah ke jari tangan dan kaki. Kondisi yang parah memicu kulit dan jaringan di bawahnya mati menghitam. Kondisi ini disebut gangren. Terkadang, jaringan gangren perlu diamputasi.
Gangguan dan pelemahan fisik ini berisiko menyebabkan pendaki tidak sengaja jatuh. Di samping itu, gangguan pada kemampuan bernalar dapat menyebabkan orang lupa memasang tali pengaman, menyimpang dari rute pendakian, atau tidak memasang tangki oksigen dengan benar.
Longsor Salju dan Es
Pada April 2015, setidaknya 22 orang meninggal karena avalanche (longsor salju) akibat gempa Nepal M 7.8. Sebanyak 10 di antaranya merupakan pendaki Sherpa, etnis Nepal yang umumnya dikenal mahir dalam pendakian.
Satu tahun sebelumnya, longsor es menewaskan 16 pendaki Sherpa di Khumbu Icefall. Longsor es di Gunung Everest ini juga menyebabkan 6 pendaki Sherpa meninggal pada April 1970.
Longsor es berasal dari serac, balok atau kolom es gletser sebesar rumah yang berisiko roboh kendati cuaca di sekitarnya dingin. Serac besar yang putus di Gunung Everest menyebabkan kematian 16 pendaki tahun 2024 tersebut.
(twu/nwk)