Sumpah Pemuda dikumandangkan pada rapat ketiga Kongres Pemuda II di Gedung Indonesische Clubgebouw atau Indonesische Clubhuis. Gedung itu kini menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Pada sejarahnya, Museum Sumpah Pemuda sebenarnya adalah kos-kosan milik seorang Tionghoa. Beberapa tokoh pemuda pernah indekos di sana.
"Kos-kosan" Sumpah Pemuda
Berdasarkan catatan yang ada, Museum Sumpah Pemuda pada mulanya adalah rumah Sie Kong Lian. Gedung ini didirikan pada awal abad 20.
Mengutip dari laman Museum Sumpah Pemuda Kemdikbud, Gedung Kramat Raya nomor 106 itu disewa para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RS (Rechts School) sebagai tempat tinggal sekaligus belajar.
Pada waktu itu, rumah kos ini bernama Commensalen Huis. Beberapa tokoh pemuda yang pernah indekos di sana adalah Moh. Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Abas, Abu Hanifah, Assaat, HIdajat, Ferdinand Lumban Tobing, Koentjoro Poerbopranoto, Soenarko, Reosmali, Mohammad Amir, Mohammad Tamzil, Samboedjo Arif, Soemanang, Hassan, Mokoginta, dan Katjasungkana.
Kerap Dipakai untuk Gerakan Pemuda
Sejak 1927, Gedung Kramat Raya 106 dipakai berbagai organisasi pemuda untuk melakukan kegiatan. Bung Karno dan para tokoh Algemeene Studie Club Bandung kerap berdiskusi soal format perjuangan dengan para penghuni kos-kosan di sana.
Gedung ini juga pernah menjadi tempat kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, dan PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Selain itu, rumah tersebut juga dipakai sebagai sekretariat PPPI dan sekretariat majalah Indonesia Raja yang dikeluarkan PPPI.
Disebabkan kerapnya dipakai untuk berorganisasi, maka sejak 1927 Gedung Kramat 106 yang mulanya bernama Langen Siwo, diubah menjadi Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).
Pada 15 Agustus 1928, gedung itu pada akhirnya diputuskan menjadi tempat terselenggaranya Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda.
(nah/nwy)