Tragedi berdarah yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang pada Sabtu lalu (1/10/2022) menewaskan ratusan korban. Kerusuhan terjadi saat pertandingan Arema FC Vs Persebaya Surabaya.
Peristiwa tersebut tidak hanya menggemparkan Tanah Air, namun juga negara-negara lain. Bahkan, Gianni Infantino selaku Presiden FIFA turut menyampaikan bela sungkawa atas tragedi Kanjuruhan.
Berkaitan dengan itu, Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Drajat Tri Kartono menyampaikan bahwa kerusuhan itu dipicu oleh fanatisme suporter yang berlebihan hingga berujung merusak kelompoknya sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Drajat menyampaikan bahwa kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang semakin menjadi-jadi karena adanya pihak yang menghalang-halangi ekspresi kekecewaan suporter.
"Karena menghalangi ekspresi itu, kemudian jadilah kaya ngamuk ke semua arah. Bentrok dengan aparat juga. Ya, karena aparat harus berada di tengah-tengah juga. Karena tidak ada Bonek, jadi mereka menyerang ke dalam," ujarnya dikutip dari laman resmi UNS, Kamis (6/10/2022).
Menurutnya, tragedi Kanjuruhan menjadi bukti ketidaksepahaman antara manajemen klub dan suporter. Hal ini justru memicu konflik di dalam dan menyulut emosi.
Kericuhan di Stadion Kanjuruhan Berkaitan dengan Fanatisme
Sudrajat memandang bahwa kericuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan berkaitan dengan fanatisme sebab fanatisme pada suporter sepak bola menjadi identifikasi diri yang memasukkan orang-orang ke dalam in group feeling.
Hal tersebut ditandai dengan adanya kesamaan perasaan, pandangan, dan simbol dalam kelompok yang sama.
"Nah, di dalam in group feeling dibangunlah koneksi yang membangun mereka adalah in group identity. Identitas kelompok kemudian disebarkan ke seluruh anggota dengan harapan mereka punya komitmen penyamaan simbol, persepsi, dan gerak sehingga menjadi satu kesatuan," papar Sudrajat.
Fanatisme memiliki peluang yang besar apabila dipengaruhi oleh kompetisi dengan kelompok lain. Sehingga muncul dorongan untuk melindungi dan memperjuangkan kelompoknya sendiri.
"Di situ muncullah sebuah komitmen penyatuan identitas yang kemudian harus dipertahankan. Ini diperkuat oleh keterkaitan antara kelompok itu dengan identitas-identitas lain, seperti identitas kedaerahan," tambahnya.
Fanatisme Membawa Kerugian
Drajat menilai bahwa fanatisme seringkali membawa kerugian karena memicu orang-orang untuk bersikap intoleran. Berkurangnya rasa toleransi karena fanatisme menjadi hal yang otomatis terjadi.
"Karena perasaannya ke dalam sehingga kalau ada yang dianggap menghalang-halangi kelompoknya atau merusak kelompoknya ya tindakan agresi. Kalau tidak terorganisir dan duduk dengan baik, muncullah agresi," sambung Drajat.
Ia menuturkan, munculnya sikap intoleran terhadap orang-orang di luar kelompok karena fanatisme mendorong perilaku irasional. Akibatnya, mereka yang kadung fanatik dengan sesuatu dapat menyerang berbagai pihak, mulai dari penegak hukum pemerintah, atau pihak lain yang dinilai mengganggu kelompoknya.
Cara Menghadapi Fanatisme Berlebih
Drajat memaparkan bahaya fanatisme yang berlebihan jika tidak dikelola dengan baik. Menurutnya, ada dua faktor yang menyebabkan fanatisme membawa kerugian, yaitu gagalnya pengorganisasian dan edukasi.
"Ini sebenarnya pelajaran bagaimana mengorganisir in group feeling agar mereka punya saluran. Karena (fanatisme) itu pasti tersalurkan," ungkapnya.
Cara agar fanatisme tidak membawa kerugian termasuk dalam pertandingan sepak bola, Drajat menyarankan agar hierarki kelompok yang besar diorganisir dengan baik.
"Membangun pendidikan di in group feeling juga penting agar anggotanya memiliki berbagai alternatiif kegiatan. Jadi, harus diajak ke kegiatan-kegiatan lain, seperti membantu penanganan bencana alam," saran Sosiolog UNS tersebut.
(nwy/nwy)