Fenomena Mahasiswa Termuda di Mata Psikolog, Ini yang Perlu Diwaspadai

ADVERTISEMENT

Fenomena Mahasiswa Termuda di Mata Psikolog, Ini yang Perlu Diwaspadai

Novia Aisyah - detikEdu
Jumat, 24 Jun 2022 17:30 WIB
Pendaftaran KIP Kuliah Merdeka 2022: Syarat, Cara, Jadwal
Ilustrasi fenomena mahasiswa termuda di mata psikolog. Foto: Shutterstock/
Jakarta -

Fenomena mahasiswa termuda biasanya kerap ditemukan pada momen-momen hasil seleksi masuk perguruan tinggi selesai diumumkan. Beberapa contoh yang ditemukan sebelumnya adalah calon mahasiswa baru (maba) berusia 14 tahun 8 bulan, 15 tahun 4 bulan, 15 tahun 8 bulan, dan lain sebagainya.

Namun, bagaimana penilaian pakar dalam bidang psikologi terkait hal ini? detikedu telah menghubungi psikolog pendidikan dari Universitas Pembangunan Jaya (UPJ), Runi Rulanggi untuk menyampaikan pengamatannya.

Kata Pakar soal Fenomena Mahasiswa Termuda

Psikolog Runi Rulanggi mengatakan, untuk masuk ke level pendidikan tinggi, sebenarnya asalkan kemampuan kognitif seseorang dinilai mampu menghadapi tugas-tugas di perguruan tinggi, maka yang bersangkutan bisa saja masuk ke pendidikan tinggi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bahkan kalau di aturan sendiri, Permendikbud sepertinya tidak ada batasan untuk masuk ke perguruan tinggi minimal usia berapa," kata perempuan yang akrab dipanggil Anggi itu, Kamis, (23/6/2022).

Kendati demikian, menurutnya yang perlu diwaspadai adalah apakah mahasiswa termuda tersebut secara sosial atau emosi sudah siap untuk menghadapi dinamika mahasiswa di perguruan tinggi.

ADVERTISEMENT

"Yang perlu diwaspadai itu secara sosial atau secara emosi itu dia sudah siap atau belum untuk menghadapi dinamika mahasiswa di perguruan tinggi karena kan usianya katakanlah dia usia 14 sampai 15 tahun, itu masih masuk usia remaja pertengahan," urai Anggi.

"Sedangkan teman-temanya sudah di masa remaja akhir, 18-19 gitu ya. Mau masuk dewasa awal. Jadi, levelnya kan berbeda," lanjutnya.

Anggi memaparkan kesiapan aspek sosial dan emosi ini misalnya apakah mahasiswa baru tersebut mampu mengikuti cara bersosialisasi teman-temannya dan mampu mengelola emosi.

"Karena di masa dia 14, 15, 16 itu kan mungkin gejolak emosinya masih naik turun drastis. Beda dengan yang sudah masuk ke dewasa awal yang sudah lebih pandai mengelola emosi," ujar Anggi.

Namun, dia juga menegaskan bukannya tidak boleh. Hanya saja orang tua maupun kampus perlu berhati-hati dengan kondisi psikologis mahasiswa belia tersebut.

"Kita tidak bisa melarang dia masuk, soalnya kapasitas kognitif dia bagus. Jadi, kalau misalnya ditaruh di SMA nanti dia malah bosan, potensinya tidak bisa teraktualisasi karena kan dia sudah lebih maju dibandingkan teman-temannya," ungkap Anggi.

"Catatannya, gimana supaya dia itu bisa mengelola emosi, tetap bisa bersosialisasi seperti teman-temannya yang usianya lebih dewasa," ujarnya lagi.

Dampak yang bisa muncul jika tidak siap secara sosial dan emosional>>>

Tips untuk Para Mahasiswa Termuda

Menurut Anggi, para mahasiswa yang tergolong paling muda ini perlu berusaha menyesuaikan diri dengan teman-teman lain yang berusia lebih dewasa.

"Adjust (menyesuaikan) gitu ya, dengan kehidupan perguruan tinggi yang mungkin lebih banyak menuntut kemandirian, agak beda dengan sekolahan. Dan tetap perlu dukungan penuh dari keluarga, dari teman-teman terdekat biar tidak mudah stres," terangnya.

Di samping itu, para maba tersebut juga disarankannya membangun sistem dukungan atau support system. Hal ini dapat dilakukan dengan cara terkoneksi dengan keluarga dan teman-teman. Sehingga, maba tersebut tidak akan merasa sendirian.

Kini pun sudah banyak kampus yang menyediakan layanan psikologi untuk mahasiswa. Mereka bisa memanfaatkan fasilitas ini. Tujuannya agar tetap bisa mengaktualisasikan potensi dengan cara yang disukai dan secara psikologis bisa tetap kokoh.

Lulusan magister Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu juga menegaskan, tolok ukur seorang siswa bisa dikatakan siap masuk ke jenjang pendidikan tinggi tidaklah seperti misalnya siswa TK yang hendak masuk SD.

Siswa taman kanak-kanak yang akan masuk SD perlu memenuhi kriteria yang jelas seperti aspek kemandirian dan lain sebagainya. Sementara, tolok ukur kognitif masuk perguruan tinggi bisa diukur dari seleksi masuk universitas.

"Secara kognitif bisa tercermin pada saat penilaian-penilaian tes potensi (masuk universitas) di awal atau dia mampu menyelesaikan soal-soal di ujian masuk atau tes lain seperti mandiri dan lain. Kalau bisa, berarti dia eligible (layak) masuk ke perguruan tinggi. Lebih seperti itu sih kalau perguruan tinggi," beber Anggi.

Dia mengingatkan, apabila para mahasiswa termuda belum bisa mengelola emosi, maka bisa muncul berbagai permasalahan yang manifestasinya ke aspek emosional. Contohnya mudah merasa tertekan, di mana gejalanya adalah stres.

"Kalau sudah dalam jangka waktu tertentu bisa jadi depresi, bisa (juga) dalam bentuk lain (seperti) cemas, gangguan panik," katanya lagi.

"Bisa seperti itu kalau memang terjadinya lama, konsisten, misalnya lebih dari 6 bulan. Bisa jadi muncul seperti itu. Itu sih yang perlu diwaspadai anak-anak di usia ini, di usia yang rentan," ucap Anggi.


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads