Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak dilibatkan dalam pembahasan perubahan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Tambang Mineral dan Batubara serta Perda Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Kedua perubahan perda itu tengah dibahas oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTB.
Direktur Eksekutif Walhi NTB, Amri Nuryadin, menyayangkan perihal tersebut. Semestinya, kata Amri, pembahasan dua perda yang berlangsung di DPRD NTB itu harus melibatkan organisasi masyarakat sipil yang konsen di bidang lingkungan hidup.
"Tidak ada sama sekali kami dilibatkan. Ini bentuk investasi kelatahan pejabat-pejabat dalam melihat pertambangan terutama dalam eksplorasi dan produksi," kata Amri di Mataram, Rabu (22/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembahasan dua perda di DPRD NTB tanpa melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat sipil lingkar tambang, merupakan langkah yang keliru. Seharusnya, pembahasan itu melibatkan banyak pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil di kawasan tambang. Entitas usaha di sana juga harus dilibatkan.
Sebagaimana diketahui, Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Tambang Mineral dan Batubara serta Perda Nomor 2 Tahun 2024 tentang PDRD direvisi sehubungan dengan upaya legalisasi tambang rakyat di NTB. Total ada 16 tambang yang hendak dilegalkan yang tersebar di Lombok maupun Sumbawa.
Amri mengungkapkan setiap proses perizinan tambang mineral sangat panjang. Upaya penerbitan 16 Izin Pertambangan Rakyat (IPR) blok tambang di Lombok dan Sumbawa itu menggunakan dua skema. Ada skema di kementerian, yakni dengan cara pelelangan dan skema prioritas.
Proses perizinan 16 blok wilayah pertambangan rakyat (WPR) di Lombok dan Sumbawa menjadi IPR masuk dalam skema prioritas pemerintah pusat. Belasan tambang itu diwacanakan dikelola Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih.
Amri mengingatkan agar pemberian izin tambang kepada Kopdes Merah Putih tidak melangkahi aturan dalam aturan mineral dan batubara (minerba). Amri menilai harus ada kejelasan jaminan untuk penanganan reklamasi pascatambang, termasuk dokumen rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).
Proses penerbitan IPR, tutur Amri, harus melalui banyak izin yang harus diurus oleh koperasi, mulai dari izin pengangkutan material, izin reklamasi, dan izin pascatambang. Sehingga, seluruh proses pembahasan di DPRD NTB harus melihat semua dokumen perencanaan secara matang.
Paling penting saat ini, kata Amri, pembahasan dua Perda di DPRD NTB bisa menghitung kemungkinan kerusakan yang akan ditimbulkan dengan nilai materiel juga 16 blok WPR itu beroperasi. "Sehingga dalam RKAB itu jelas sekian biayanya untuk pasca tambang," katanya.
Amri menyarankan, sebelum dua perda retribusi dan tambang mineral itu dibahas, alangkah baiknya DPRD NTB harus melakukan penyelidikan sosial terlebih dahulu untuk masyarakat lingkar tambang.
"Kalau tanpa ini saya pikir akan jadi aturan yang tidak akan bisa diimplementasikan ke bawah," ungkap Amri.
Amri menekankan DPRD NTB juga bisa melakukan revisi besaran retribusi perusahaan tambang di NTB menjadi 6 persen ke daerah.
"Kami berharap perda itu mengatur itu, mengatur alokasi seberapa untuk masyarakat kalau masyarakat sebagai anggota koperasi, seberapa besar untuk pemda juga," harap Amri.
Amri juga mengkritik soal penerapan IPR di NTB yang akan menjadi percontohan bagi daerah lain. Baginya, NTB tidak pantas menjadi contoh karena tidak memiliki pengalaman bagus dalam aktivitas pertambangan.
Menurut Amri, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya mineral di NTB dalam 10 tahun terakhir masuk kategori buruk. Dia mempertanyakan alasan pemerintah menjadikan NTB sebagai pilot projek penerbitan IPR.
"Kalau NTB menjadi pilot projek IPR, ini terbalik dengan situasi saat ini di NTB," jelas Amri.
Sebelumnya, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB, Samsudin, mengatakan dari 16 blok tambang yang mengajukan IPR baru satu blok tambang yang diterbitkan. Penertiban IPR yang diajukan masing-masing koperasi masih ada beberapa kendala.
"Informasi yang disampaikan tadi memang ini kan barang baru, perlu sosialisasi. Jadi perlu informasi yang lebih detail. Walaupun regulasi awal itu sudah ada, tetapi memang juga perlu ada penyesuaian melihat kondisi di NTB ini," kata Samsudin di Mataram, Kamis (9/10/2025).
Samsudin mengatakan proses penerbitan IPR di NTB akan menjadi pilot proyek untuk IPR di Indonesia. Meski begitu kata dia, 16 blok WPR diizinkan dikelola untuk koperasi belum dapat melakukan operasi.
"Baru satu yang diizinkan, yaitu Koperasi Salonong, Bukit Lestari yang berlokasi di Kabupaten Sumbawa. Jadi, kalau ingin percepatan, berarti semua prasarana harus dipenuhi," katanya.
"Tadi ada sudah yang ingin percepatan. Cuma masih ada kendala perizinan di Kementerian Kehutanan di Dinas Perizinan, terus di ESDM sendiri. Karena ternyata berbasis aplikasi kan tidak mudah juga," katanya.
Samsudin pun meminta kepada 15 koperasi yang mengajukan penerbitan IPR untuk 15 blok WPR di Lombok dan Sumbawa itu untuk menghargai beberapa regulasi agar tidak ada yang tertinggal.
"Berdasarkan regulasi setiap blok WPR memiliki luas 25 hektare. Satu izin IPR nantinya akan diberikan maksimal 10 hektare untuk koperasi dan 5 hektare untuk perorangan," ujar dia.
(hsa/hsa)











































