PWYP Desak Moratorium Tambang di NTB, Sebut Dampak Ekologi Kian Parah

PWYP Desak Moratorium Tambang di NTB, Sebut Dampak Ekologi Kian Parah

Ahmad Viqi - detikBali
Rabu, 22 Okt 2025 16:49 WIB
Tambang emas ilegal di Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, NTB. (Dok. KPK)
Tambang emas di Sekotong, NTB. (Foto: Dok. KPK)
Mataram -

Gabungan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Working Group Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Yogyakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) menyerukan moratorium izin pertambangan di NTB. Seruan itu disampaikan dalam diskusi bertema "Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Tata Kelola Minerba di Tengah Maraknya Tambang Ilegal dan Pembangunan PSN di Pulau Jawa dan Kepulauan Nusa Tenggara" yang digelar secara hybrid di Kota Mataram, Rabu (22/10/2025).

Direktur Lembaga Studi Bantuan Hukum (LSBH) NTB, Badaruddin, menilai praktik penambangan di NTB selama ini menimbulkan masalah serius. Menurutnya, sejumlah tambang di Lombok dan Sumbawa telah menyebabkan kerusakan ekologi sekaligus tidak memberi dampak ekonomi signifikan bagi masyarakat sekitar.

"Dalil pemerintah bahwa tambang berkontribusi besar pada penerimaan negara, tak sepenuhnya benar. Pun tak sebanding dengan dampak eksternalitas negatif yang dialami masyarakat," kata Badaruddin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menambahkan, potret kemiskinan di sekitar wilayah tambang mudah ditemukan. Aktivitas pertambangan justru membuat warga kehilangan sumber penghidupan di sekitar area tambang.

ADVERTISEMENT

355 Izin Tambang Aktif di NTB

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, Amri Nuryadin, menyebut hingga 2024 terdapat 355 Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif dengan total konsesi mencapai 219.000 hektare. Selain itu, ada 16 blok wilayah pertambangan rakyat (WPR) di Lombok dan Sumbawa yang tengah diajukan untuk izin pertambangan rakyat (IPR) dan akan dikelola koperasi.

"Kehadiran tambang melahirkan kerusakan hutan yang mengkhawatirkan dan juga ancaman ketahanan pangan," ujarnya.

Amri menuturkan, dalam satu dekade terakhir NTB kehilangan sekitar 25.000 hektare area hutan dan pertanian akibat tambang. Kondisi ini berpotensi menyebabkan hilangnya lahan produktif yang bisa menghasilkan 125.000 ton gabah kering giling atau setara 70.000 ton beras per tahun.

"Ini belum kita hitung IPR yang akan dikelola koperasi. Jumlah ini bisa bertambah dan setara kebutuhan pangan 500.000 jiwa atau 20 persen populasi Lombok Tengah," ujarnya.

Desak Evaluasi 16 Blok WPR

Amri menyoroti 16 blok WPR yang diusulkan menjadi IPR di Lombok dan Sumbawa. Ia menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi sebelum mengeluarkan izin tersebut.

"Kami mendorong moratorium izin tambang yang disertai dengan pemulihan lingkungan. Seharusnya pemerintah menyelesaikan kasus tambang ilegal di Sekotong Lombok Barat sebelum menerbitkan WPR dan IPR," tegasnya.

"Jadi pola IPR ini hanya justifikasi pemerintah. Ada diksi lebih baik tambang legal daripada ilegal juga harus hati-hati. Artinya ini akan membuat masyarakat berani nambang di lokasi yang ilegal," lanjut Amri.

Walhi bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya mendesak pemerintah melakukan moratorium total dan menghentikan penerbitan izin tambang baru. Pemerintah juga diminta melakukan audit lingkungan dan tata ruang secara independen di wilayah pertambangan.

"Kami desak lakukan restorasi berbasis masyarakat untuk kawasan rusak karena dampak pertambangan. Dan lakukan reorientasi ekonomi dari ekstraktif menuju pertanian berkelanjutan," ujarnya.

Dorong Keadilan Sosial dan Ekologis

Peneliti SOMASI NTB, Michael Waroy, menegaskan moratorium izin tambang bukan sekadar menghentikan eksploitasi, melainkan langkah untuk memulihkan keadilan sosial dan ekologis.

Menurutnya, moratorium menjadi upaya fundamental memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar lebih transparan, adil, dan berkelanjutan, serta berpihak pada masyarakat dan lingkungan.

"Pembangunan itu harus memikirkan masa depan ekologis atau keberlanjutan. Sehingga manfaatnya bisa dirasakan semua masyarakat," tandasnya.




(dpw/dpw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads