Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Flores Timur angkat bicara terkait relokasi warga penyintas erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Rencana relokasi itu sebelumnya menuai penolakan warga karena mereka akan dipindahkan ke daerah hutan lindung.
Sekretaris Daerah (Sekda) Flores Timur, Petrus Pedo Maran, mengeklaim rencana relokasi warga ke kawasan hutan lindung itu sudah disepakati oleh para kepala desa melalui rapat. Menurutnya, rencana relokasi itu juga telah berdasarkan hasil rapat dengan sekretaris camat dari Kecamatan Wulanggitang dan Kecamatan Ile Bura, Flores Timur.
"Sudah menyepakati dan menyetujui keempat lokasi yang menjadi rencana lokasi huntap (hunian tetap), yakni di Lewororo, Noboleto, Bungawolon, dan Waidoko. Khusus Lewororo kami sudah usulkan ke Pak (Pj) Gubernur NTT dan selanjutnya akan diajukan permohonan ke Kementerian Kehutanan dengan melampirkan kajian dari Dinas Kehutanan Provinsi NTT," kata Pedo Maran kepada detikBali, Selasa (17/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rencana relokasi warga terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki ke kawasan hutan lindung memicu penolakan keras dari masyarakat adat di Flores Timur. Mereka menilai kawasan tersebut sebagai sumber resapan air dan rawan longsor, sehingga tidak layak dijadikan lokasi pemukiman baru.
Pedo Maran mengatakan alasan penolakan warga itu akan menjadi pertimbangan dalam dokumen kajian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Flores Timur. Menurutnya, akan ada penyesuaian dalam perencanaan pembangunan hunian dan infrastruktur pendukung untuk para pengungsi. Tujuannya untuk mitigasi risiko kejadian yang dikhawatirkan warga.
"Misalnya tetap mempertahankan pohon dengan jarak kerapatan tertentu dan pembangunan pengendali banjir," imbuhnya.
Pemkab Flores Timur, dia melanjutkan, akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya terkait rencana relokasi tersebut. Ia berharap agar warga memahami mekanisme dan proses tersebut.
Sebelumnya, Pemkab Flores Timur menentukan tiga lokasi potensial untuk relokasi warga terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Lokasi pertama adalah Botongkarang/Noboleto, yang dapat diakses dengan kendaraan roda dua.
Lokasi ini bakal menjadi objek relokasi warga dari Desa Dulipali (223 KK), Desa Nobo (415 KK), dan Klatanlo (346 KK). Lokasi ini berada di luar Kawasan Rawan Bencana (KRB) Lewotobi, sehingga dinilai aman.
Lokasi kedua adalah Wukoh Lewoloroh, yang terletak di perbatasan Flores Timur dan Sikka. Relokasi di kawasan hutan lindung ini akan mencakup Desa Boru (369 KK) dan Hokeng Jaya (457 KK). Lokasi ini berada di pinggir jalan raya dan memiliki lahan yang biasa digunakan untuk berkebun. Namun, relokasi di lahan ini masih menunggu persetujuan dari Kementerian Kehutanan karena termasuk kawasan hutan.
Lokasi ketiga adalah Kojarobet di Desa Hewa, yang diusulkan untuk relokasi warga Desa Nawokote (399 KK). Ketiga lokasi ini telah dipertimbangkan dengan matang untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan warga yang akan direlokasi.
Tokoh adat setempat, Darius Don Boruk, menolak warga direlokasi ke hutan lindung. Menurutnya, hutan lindung merupakan satu kesatuan ekosistem yang harus dijaga.Ia menyebut kawasan ini memiliki sumber mata air vital yang menjadi penopang kehidupan masyarakat Wulanggitang, terutama warga Desa Boru dan Boru Kedang.
Don Boruk mengungkapkan debit sumber mata air di kawasan tersebut sudah menurun. Ia khawatir mata air akan kering jika hutan tersebut dibuka untuk pemukiman.
Selain itu, Don Boruk menegaskan bahwa struktur tanah di Wengot, perbatasan antara Flores Timur dan Sikka, sangat rawan longsor. Jika kawasan tersebut dijadikan pemukiman, dikhawatirkan akan memicu bencana yang berpotensi memutus jalan Trans Flores yang menghubungkan dua kabupaten tersebut.
Di sisi lain, Don Boruk mengatakan kawasan hutan lindung tersebut dulunya adalah lahan yang dikelola oleh masyarakat adat. Namun, sejak 1994, pemerintah menetapkan lahan itu sebagai kawasan hutan lindung, sehingga warga adat kehilangan hak kelola mereka.
"Sejarah mencatat pernah ada tujuh orang yang di penjara gara-gara buka hutan," ungkap Don Boruk.
"Sangat ironis. Dulu pemerintah larang bahkan dipenjara kalau warga buka hutan. Namun sekarang malah membuka lahan untuk orang yang bukan pemilik hak ulayat tinggal di situ," pungkasnya.
(iws/hsa)