Beragam Persoalan Implementasi BPJS Ketenagakerjaan Pekerja Informal di NTT

Beragam Persoalan Implementasi BPJS Ketenagakerjaan Pekerja Informal di NTT

Ambrosius Ardin - detikBali
Kamis, 07 Nov 2024 21:30 WIB
AnggotaΒ Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (7/11/2024). (Foto: Ambrosius Ardin/detikBali)
PimpinanΒ Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (7/11/2024). (Foto: Ambrosius Ardin/detikBali)
Manggarai Barat -

Ombudsman RI menemukan sejumlah persoalan dalam implementasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsosnaker) atau BPJS Ketenagakerjaan pada pekerja informal di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Temuan itu teridentifikasi dalam tiga aspek, yakni kebijakan, manajemen, dan program.

"Pada aspek kebijakan, belum ada peraturan yang mengatur PBI (Penerimaan Bantuan Iuran) Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi pekerja informal seperti petani dan nelayan di tingkat pemerintah daerah," ungkap Pimpinan Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Kamis (7/11/2024).

"Kebijakan PBI Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di tingkat pemda (pemerintah daerah) masih bersifat sporadik," lanjut dia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada aspek manajemen, Ombudsman menemukan sejumlah persoalan, yakni tidak dilibatkannya petani dan/atau kelompok tani terkait skema kepesertaan Jamsosnaker oleh dinas pertanian setempat. Padahal, pemberian bantuan sosial profesi tani selalu terpenuhi.

Berikutnya, Robert menyebut minimnya cakupan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sektor informal karena kuota PBI terbatas. Ditambah lagi dengan tidak adanya standar dalam menentukan penerima manfaat PBI.

Sementara pada aspek program, Ombudsman menemukan tidak adanya fleksibilitas pendaftaran dan pembayaran iuran bagi peserta Bukan Penerima Upah (BPU). Demikian pula dengan pedoman teknis dalam memastikan kelayakan peserta BPU yang belum tersedia.

"Timpangnya sumber daya manusia (staf) BPJS Ketenagakerjaan di daerah-daerah 3T; dan minimnya sosialisasi dan edukasi terkait manfaat BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal," kata Robert.

Ombudsman pun mengidentifikasi potensi maladministrasi implementasi Jamsosnaker pekerja informal. Pada aspek kebijakan, terjadi pengabaian kewajiban penyusunan kebijakan PBI Jamsosnaker di tingkat pusat," kata Robert.

Ombudsman menyampaikan sejumlah saran perbaikan implementasi Jamsosnaker pekerja informal. Pada aspek kebijakan, Ombudsman meminta Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi NTT dan kabupaten/kota untuk menyusun regulasi terkait jaminan sosial kepada pekerja informal seperti petani dan nelayan.

Pada aspek manajemen, Ombudsman meminta Pemda NTT untuk menetapkan prosedur operasi standar terkait penentuan kuota PBI Jamsosnaker. Sedangkan terkait aspek program, Ombudsman meminta BPJS Ketenagakerjaan untuk menyusun sejumlah hal. Termasuk skema fleksibilitas pendaftaran dan pembayaran iuran bagi peserta BPU; pedoman teknis guna memastikan kelayakan peserta BPU; hingga memaksimalkan kerja sama dengan pihak ketiga untuk melakukan sosialisasi dan edukasi BPJS Ketenagakerjaan.

"Kajian ini akan kami serahkan secara nasional kepada kementerian terkait. Terutama Menteri Keuangan, Kemendagri, Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan, Menko PMK," kata Robert.

Dalam kesempatan itu, Robert mendorong pekerja di sektor informal seperti petani, nelayan, hingga pelaku UMKM mendapat perlindungan sosial dan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Jika tak sanggup membayar iuran bulanan, Ombudsman mendorong pemerintah daerah (pemda) membayarkan iuran BPJS Ketenagakerjaan pekerja informal tersebut.

Kendati demikian, Roert mengharapkan pemda tidak terus-menerus membayarkan iuran BPJS Ketenagakerjaan pekerja informal."Saya berharap kalau kemudian Pemda membayar iuran ini tidak boleh menjadi jangka panjang, tidak boleh terus menerus, untuk membangun kesadaran warga," imbuhnya.

Iuran BPJS Ketenagakerjaan 1.000 Pekerja Informal Dibayarkan Pemda

Sementara itu, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Manggarai Barat membayarkan iuran bulanan BPJS Ketenagakerjaan bagi 1.000 pekerja sektor informal di daerah tersebut pada 2024. Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mengalokasikan anggaran ratusan juta rupiah untuk membayar iuran tersebut.

"Ada 1.000 (pekerja informal) tahun 2024 dibayarkan iuran BPJS Ketenagakerjaan. Dialokasikan kurang lebih Rp 200-an juta dalam APBD 2024," ungkap Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai Barat Fransiskus S Sodo seusai menerima hasil kajian Ombudsman RI tentang optimalisasi pelayanan jaminan sosial ketenagakerjaan terhadap pekerja informal, di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Kamis.

Kepesertaan pekerja informal BPJS Ketenagakerjaan masuk kategori peserta Bukan Penerima Upah (BPU). Adapun, iuran sebesar Rp 16.800 per bulan untuk manfaat minimal, yakni jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja.

Pemda Manggarai Barat, Fransiskus berujar, akan meningkatkan jumlah pekerja informal yang dibayarkan iuran BPJS Ketenagakerjaannya pada 2025. Alokasi anggarannya akan ditingkatkan pada APBD 2025.

"Coverage pembiayaan tahun depan kami akan meningkatkan anggota pekerja informal yang rentan yang di-cover melalui APBD. Tahun depan sedang diproses, APBD belum ditetapkan. Kami akan meningkatkan secara signifikan," ujar Fransiskus.

Ia mengatakan pekerja informal yang dibayarkan iuran BPJS Ketenagakerjaan adalah mereka yang masuk kategori rentan. Nama mereka diambil dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data kemiskinan ekstrem.

"Prioritas kami terhadap pekerja informal yang rentan yakni disabilitas, perempuan, yang tanggungannya besar, dan indikator lainya," jelas Fransiskus.




(iws/hsa)

Hide Ads