Puluhan jurnalis yang tergabung dalam Forum Jurnalis Pengawal Reformasi Nusa Tenggara Timur (FJPR NTT) menggeruduk gedung DPRD setempat. Mereka menyuarakan penolakan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
FJPR NTT yang berdemonstrasi menolak revisi UU Penyiaran terdiri dari berbagai organisasi media dan jurnalis, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kupang, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTT, Jurnalis Online Indonesia (JOIN) NTT, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) NTT, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) NTT, dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) NTT.
Para jurnalis di NTT menyerukan empat poin tuntutan saat berdemonstrasi. Salah satunya, mereka mendesak DPR RI agar menghentikan pembahasan revisi UU Penyiaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"DPR RI segera menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran yang mengandung pasal-pasal bermasalah ini," kata anggota AJI Kota Kupang, Ana Djukana, saat membacakan tuntutan para jurnalis NTT, Jumat (7/5/2024).
Alasan pertama jurnalis NTT menolak revisi UU Penyiaran karena dianggap mengancam kebebasan pers. Ada berbagai pasal bermasalah dalam revisi UU Penyiaran, yakni draf Pasal 8A huruf q, Pasal 508 huruf c, dan Pasal 42 ayat (2).
Salah satu pasal yang disoroti jurnalis di NTT adalah pemberian kewenangan berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengatur konten media. Kewenangan itu dinilai dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan.
Revisi UU Penyiaran juga dinilai mengancam kebebasan berekspresi. Menurut jurnalis NTT, ketentuan yang mengatur pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara melalui rancangan sejumlah pasal.
Tak hanya itu, jurnalis di NTT juga menilai revisi UU Penyiaran dapat mengkriminalisasi jurnalis. Sebab, ada ancaman pidana bagi jurnalis yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial.
Independensi media juga turut terancam dengan revisi UU Penyiaran. Sebab, menurut jurnalis NTT, revisi UU Penyiaran dapat digunakan menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu seperti termuat dalam draf Pasal 51E.
Bukan hanya itu, munculnya pasal bermasalah mengekang kebebasan berekspresi berpotensi menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif, seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial, dan sebagainya.
Wakil Ketua 2 Komisi I Bidang Pemerintahan DPRD NTT, Ana Waha Kolin, mengatakan tuntutan para jurnalis akan disampaikan kepada pimpinan serta diteruskan kepada DPR RI.
"Revisi undang-undang itu domainnya DPR RI. Jadi nanti kami akan sampaikan dan sebelumnya akan lakukan konsolidasi dengan pimpinan DPRD NTT, dan kami Komisi I akan sampaikan ke masing-masing fraksi-fraksi di tingkat DPR RI," jelas Ana.
Anggota Komisi I DPRD NTT, Gonzalo Muga Sada, memastikan akan mendukung aspirasi dari pekerja pers NTT. Ia berjanji akan mengawal tuntutan pers di NTT hingga ke fraksi-fraksi DPR RI.
"Kami akan pastikan untuk mengawal hal ini, dan akan menyampaikan aspirasi dari teman-teman wartawan. Tuntutan ini bersifat urgent dan perlu secepatnya ditindaklanjuti," tegasnya.
(hsa/gsp)