Penjelasan Antropolog soal 'Budaya' Blokir Jalan di Bima dan Dompu

Penjelasan Antropolog soal 'Budaya' Blokir Jalan di Bima dan Dompu

Rafiin - detikBali
Rabu, 17 Apr 2024 11:26 WIB
Antropolog Bima Alfin Syahrin
Foto: Antropolog Bima Alfin Syahrin. (Dok. Pribadi Alfin Syahrin)
Bima -

Tindakan memblokir jalan di wilayah Bima dan Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), belakangan menjadi budaya. Bahkan, seringkali pemblokiran jalan dipicu persoalan sepele. Antropolog Bima, Alfin Syahrin, mengungkapkan alasannya.

Data yang diperoleh detikBali dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol), Kabupaten Bima, tercatat ada 61 kali peristiwa pemblokiran jalan dalam empat tahun terakhir. Rinciannya, pada 2021 ada 15 kali pemblokiran jalan, 2022 ada 18 kali, 2023 ada 20 kali, dan pada 2024 hingga April ada delapan kali.

Tercatat, penyebab aksi blokir jalan adalah menuntut penyelesaian masalah hukum (pidana). Kemudian, warga memblokir jalan menuntut kebijakan pemerintah daerah seperti perbaikan jalan dan jembatan. Ada pula yang memblokir jalan karena masalah pribadi, keluarga, dan antarwarga. Bahkan, warga juga memblokir jalan untuk memprotes turunnya komoditas pertanian, seperti bawang merah dan jagung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alfin Syahrin menilai blokir jalan adalah sebuah fenomena baru yang terjadi di Bima, termasuk juga di Dompu. Menurutnya, blokir jalan merupakan cara masyarakat untuk mengekspresikan diri.

"Ruang baru mengekspresikan diri," kata Dosen Filsafat Ilmu di Poltekkes Medika Farma Husada Mataram ini kepada detikBali, Rabu (17/4/2024).

ADVERTISEMENT
Sajam yang disita oleh Polisi dari para pelaku pemblokiran jalan di Cabang Desa Waro, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima, NTB, Kamis (11/4/2024). (Dok. Polres Bima)Foto: Sajam yang disita oleh polisi dari para pelaku pemblokiran jalan di Cabang Desa Waro, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima, NTB, Kamis (11/4/2024). (Dok. Polres Bima)

Khusus di Bima, Alfin melanjutkan, aksi blokir jalan yang dilakukan warga terjadi dalam kurun 10 tahun terakhir. Tepatnya setelah Pilkada Bima pada 2010 hingga kasus pembakaran kantor Bupati Bima pada 2012. Namun, saat ini blokir jalan sudah mengarah ke persoalan lain.

"10 tahun yang lalu blokir jalan lebih mengarah ke soal politik. Kalau sekarang, lebih ke persoalan penegakan supremasi hukum dan soal-soal kebijakan," ujarnya.

Alfin menerangkan blokir jalan sebagai upaya warga untuk merespons tidak terealisasinya kebijakan pemerintah. Masalah yang disuarakan tidak ditemukan solusinya, pada akhirnya warga menjadi kecewa dan mengambil pilihan lain dengan memblokir jalan.

"Persoalannya adalah lamban atau tidak responsnya pengambil kebijakan (pemerintah) untuk menampung aspirasi, memberikan perhatian serius terhadap tanggung jawab yang diembannya," ujar Alfin.

Antropolog peraih gelar doktor dari Universitas Negeri Hasanudin (Unhas) Makassar ini melihat warga cenderung memblokir jalan lantaran pemerintah abai dan lamban menangani aspirasi masyarakat yang mendesak.

Puluhan warga memblokir jalan raya di Desa Bakajaya, Kecamatan Woja, Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Kamis (21/3/2024). (Foto: Istimewa)Foto: Puluhan warga memblokir jalan raya di Desa Bakajaya, Kecamatan Woja, Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Kamis (21/3/2024). (Istimewa)

"Secara pribadi, saya menolak cara ini (blokir jalan), karena tidak diatur dalam konstitusi kita. Tapi bagi warga yang terlampau kecewa terhadap pemerintah yang tidak sensitif, tidak bisa mengakomodasi tuntutan, cara ini adalah alternatif untuk menyelesaikan persoalan," urai Alfin.

Dampak Positif-Negatif

Meski dianggap salah, pengajar Ilmu Politik dan Komunikasi di Universitas 45 Mataram ini menjelaskan aksi blokir jalan kerap menemukan titik terang. Pasalnya aspirasi atau tuntutan yang disuarakan akan cepat direspons oleh pemerintah setelah adanya pemblokiran jalan.

"Biasanya cepat disikapi setelah adanya blokir jalan. Itu dampaknya positifnya bagi warga. Hal itu terus menjadi kebiasaan, ada masalah blokir jalan," kata Alfin.

Di samping itu, ada kepuasan tersendiri bagi kelompok-kelompok yang biasa menyuarakan kepentingan publik, seperti mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa yang biasa disebut kelompok penekanan itu dianggap mampu menjembatani harapan publik kepada pemerintah.

"Ada kepuasaan tersendiri, karena tuntutan yang disuarakan ditindaklanjuti oleh pemangku kebijakan," ujarnya.

Di sisi lain, Alfin melanjutkan, blokir jalan memberikan dampak negatif bagi masyarakat umum. Seperti akan mengganggu kepentingan publik. Selain itu, juga memperburuk citra pemerintah yang kurang peka terhadap persoalan sosial masyarakat. Pelayanan publik dan ekonomi juga akan terhambat.

"Tapi sekali lagi blokir jalan adalah cara masyarakat untuk menarik perhatian dan mencari simpati publik. Blokir jalan adalah strategi yang tepat agar Pemerintah segera merespons," jelasnya.

Untuk mencegah terjadinya blokir jalan agar tidak menjadi budaya, Alfin memberikan sejumlah tawaran atau solusi. Seperti adanya ketegasan aparat penegak hukum. Pemerintah juga harus cepat merespons dan tanggap ketika ada persoalan publik yang mendesak.

"Harus bangun kolaborasi dengan semua pihak, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda juga dilibatkan. Saat ada persoalan segera komunikasi, dialog hingga melakukan mediasi untuk menemukan solusinya," imbuh Alfin.




(hsa/gsp)

Hide Ads