Politikus dan juga anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Helmy Faishal Zaini membentuk dan merilis majelis zikir Al-Amin di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Nama 'Amin' diambil dari akronim pasangan bakal capres dan cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Eks Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengaku majelis zikir ini diharapkan menjaga spirit kepemimpinan bangsa. Di samping harapan memperoleh pemimpin yang dapat dipercaya memperbaiki bangsa ke arah lebih baik.
"Amin ini juga punya arti dapat dipercaya. Terutama di siklus pemilu, kami harapkan nanti dapat pemimpin yang amanah," ujar Helmy, Senin malam (25/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, PKB telah mendeklarasikan pasangan Anies Baswedan-Capres sebagai capres dan cawapres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
"Dan kami optimistis pasangan Amin ini, pasangan yang ideal," tegasnya.
Helmy Faishal menyebut duet Anies-Cak Imin merepresentasikan perpaduan yang sangat ikonik. Antara tokoh Islam perkotaan dengan tradisional. "Ini akan jadi spirit visi kebangsaan kita," tekannya.
Keduanya juga lahir dari kalangan santri. Sehingga menjadi kesempatan bangsa, dipimpin oleh pemimpin yang memiliki semangat menyatukan. Dengan nilai kesantrian.
Majelis Al Amin Lombok berpusat di Desa Seteluk, Kecamatan Baru Layar, Lombok Barat. Lokasi ini sekaligus pusat pemenangan Helmy Faishal, sebagai calon DPR RI Dapil NTB II Pulau Lombok di Pileg 2024. Jemaah majelis zikir Al Amin terbuka untuk semua kelompok dan lapisan masyarakat.
"Ini memberi ruang untuk semua (bergabung), karena kalau dari struktur partai sudah ada BAJA atau Barisan Pekerja," terangnya.
Majelis zikir lebih lentur merangkul kelompok masyarakat yang berkecimpung di dalam aktivitas sosial. Tetapi tidak melibatkan diri dalam aktivitas kepartaian, terutama para Tuan Guru.
"Di sini kita banyak berdoa, bermunajat, dan tentu menjalankan wirid dari tuan guru. Jadi kita mendinginkan suasana, dengan memperbanyak salawat," jelasnya.
Helmy Faishal, tak risau bila majelis zikir dituding sebagai politisasi agama. Justru, ia meyakinkan semangat di dalam majelis, mengajak semua insan meletakkan diri sebagai anak bangsa, ketika berkompetisi tetap berpegang teguh pada nilai agama.
"Kan kalau tidak ada agregat nilai agama, (jatuhnya) sekuler. Yang seenaknya berpendapat, akhirnya malah bisa memicu perpecahan," ujar mantan menteri itu.
Helmy Faisal melihat masyarakat kultural jumlahnya sangat besar di NTB. Ia kembali menekankan, majelis zikir bukan untuk menyeret masyarakat dalam lingkaran politik praktis. Tetapi wadah konsolidasi untuk memperkuat kegiatan sosial-kultural.
"Kan NU tidak boleh berpolitik (praktis)," pungkasnya.
(dpw/nor)