Tokoh masyarakat, Muhardin (51) tewas dalam bentrokan Pilkades Rite, Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (7/7/2022). Ia tewas saat hendak meredam kemarahan massa yang protes terkait perbedaan jumlah surat suara dan daftar pemilih tetap (DPT).
Muhardin disebut meninggal karena terkena lemparan batu saat bentrokan terjadi. Namun, keluarga mengaku ada kejanggalan dari tewasnya korban. Anak kandungnya menduga sang ayah meninggal bukan karena lemparan batu, namun ia tidak berani memastikan secara pasti penyebab kematiannya.
Menurut keterangan anak kandung korban, Nanang Suhendra (31), pihak keluarga sudah melaporkan kejadian ke Polres Bima. Dari laporan tersebut telah dilakukan pemeriksaan terhadap 12 saksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Korban Hendak Meredam Massa
Muhardin saat itu berusaha meredam protes warga dan simpatisan calon kepala desa. Awalnya korban menginap di rumah warga saat massa melakukan protes ke kantor desa. Namun ketika bentrokan terjadi, Muhardin muncul di kantor desa untuk meredam amarah massa.
"Ayah saya ke kantor desa saat itu, berdasarkan cerita dari orang yang punya rumah tempat ayah tidur sebelum kejadian, kubu calon nomor 1 protes, kebetulan calon kades nomor urut 1 adalah saudara ayah saya dan saya pun ikut protes. Tujuan ayah saya datang ke kantor desa untuk meredam suasana, tapi belum sempat masuk ke dalam aula kantor desa, tiba-tiba jatuh dan tergeletak," ungkapnya pada detikBali, Senin (11/7/2022).
Nanang mengungkapkan, memang sempat terjadi insiden pelemparan batu, dan tak lama kemudian ia mendapat kabar dari polisi dan panitia ada korban tergeletak di samping tembok pagar kantor desa. Setelah dicek, ternyata orang tersebut ayahnya.
Korban pun langsung dievakuasi dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum Bima. Setelah dirawat intesif selama dua hari dan tak sadarkan diri, korban mengembuskan napas terakhir pada Sabtu (9/7/2022) malam. Pada tubuh korban terdapat luka lebam hingga luka robek di wajah dan kepala.
"Dilarikan ke rumah sakit, meninggal pada Sabtu malam. Dirawat dua hari diRSUDBima. Polisi sempat mau autopsi, karena pertimbangan kami sebagai keluarga dikubur setelah sholat IdulAdha, sehingga tidak jadi," ujarnya.
Diceritakan Nanang, aksi protes hingga berujung bentrokan itu dipicu kejanggalan jumlah surat suara yang tidak sama dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Massa ngamuk karena panitia tidak memberikan penjelasan apapun, malah melanjutkan proses penghitungan perolehan suara.
"Sering terjadi rapat yang dilakukan panitia sehingga mengulur waktu, terakhir yang menimbulkan kericuhan itu terkait selisih antara DPT dan surat suara. Sehingga panitia melakukan rapat, setelah itu panitia tidak mengkonfirmasi kembali kepada warga hasil rapat tersebut, dan langsung melanjutkan proses penghitungan suara yang sempat ditunda. Makanya warga ngamuk, kemudian disusul suara tembakan peringatan dari polisi, bahkan ditembakkan gas air mata ke arah warga," tutur Nanang.
Nanang mengatakan, keributan berlangsung lama karena panitia tak kunjung memberikan penjelasan kepada warga dan simpatisan. Aksi protes sempat mereda ketika warga menunggu penjelasan panitia. Namun tak berlangsung lama, warga kembali melakukan protes di depan kantor Desa.
Ketika warga dan simpatisan melakukan aksi protes di depan kantor desa untuk menuntut penjelasan terkait perbedaan surat suara dan DPT, lanjut Nanang, tiba-tiba ada lemparan batu cukup banyak yang entah datang dari mana mengarah ke kantor desa. Batu-batu tersebut bagaikan hujan sehingga warga lari berhamburan menyelamatkan diri.
"Cuma yang saya lihat, batu yang mengarah ke kantor desa itu tidak datang dari posisi kami yang protes itu. Batu-batu itu entah datang dari arah gunung, pokoknya batu-batu itu datang dari arah di atas gunung. Begitu batu-batu itu datang, kami melakukan protes itu langsung lari berhamburan takut terkena batu," jelasnya.
Nanang menganggap kematian ayahnya bukan disebabkan warga yang protes, namun ada oknum yang sengaja membuat suasana mencekam dengan melempar batu ke arah kantor desa. Tak terima dengan kejadian itu, Nanang dan keluarganya telah melaporkan kejadian kepada Polres Bima Kota pada Minggu (10/7/2022) kemarin.
Pihak kepolisian yang dikonfirmasi detikBali, membenarkan kejadian tersebut dan mengaku telah menerima laporan dari keluarga korban. Polres Bima juga telah mulai melakukan penyelidikan dengan memeriksa beberapa saksi.
"Sudah melapor di polres dan tadi pagi sudah dilakukan pemeriksaan saksi sampai siang hari," kata Kasi Humas Polres Bima Kota Iptu Jufri.
12 Orang Diperiksa
Polres Bima Kota telah melakukan pemeriksaan terhadap 12 saksi terkait kasus bentrokan Pilkades Rite,yang menewaskan seorang tokoh masyarakat. "Hari ini diperiksa lagi 4 orang, total ada 12 orang yang diperiksa sebagai saksi," kata Kasi Humas Polres Bima Kota, Iptu Jufri pada detikBali, Selasa (12/7/2022).
Dijelaskan, 12 orang yang diperiksa tersebut merupakan warga Desa Rite yang berada di lokasi kejadian saat peristiwa itu pecah. "Yang diperiksa dari masyarakat Desa Rite sendiri. Untuk pelapor adalah anak kandung korban, dari 12 saksi tersebut yang diperiksa juga termasuk pelapor," jelas Jufri.
Ditambahkannya, pihaknya juga telah melakukan olah tempat kejadian perkara, dilakukan timinafis dan timReskrim PolresBima Kota pada Jumat (8/7/2022) lalu. "Tim juga telah gelar olah tempat kejadian perkara di Kantor Desa Rite atau di lokasi pelaksanaan pungut hitungPilkades Rite. Juga sudah memasang garis polisi di seluruh areal kantor Desa Rite," ujarnya.
Keluarga Muhardin (51), menduga korban meninggal bukan karena terkena lemparan batu. "Saya tidak berani pastikan apakah ayah saya terkena batu atau peluru, itu yang kami gali saat ini, secara pribadi saya katakan bapak meninggal bukan karena terkena batu," kata anak korban Muhardin, Nanang Suhendra (31) pada detikBali Selasa (12/7/2022).
Ia mengatakan, polisi juga belum memastikan motif dari meninggalnya korban. Menurut Nanang, pada saat kejadian hujan batu itu, disusul dengan tembakan peringatan dari pihak kepolisian yang melakukan penjagaan.
"Polisi juga belum berani pastikan itu terkena batu, kalaupun mereka pastikan itu, artinya mereka sudah tahu pelakunya," tegas Nanang.
Nanang mengungkapkan kejanggalan yang ditemukannya pada saat ayahnya dinyatakan meninggal. Saat itu datang seorang oknum polisi dari Polsek Ambalawi dengan membawa surat penyataan menolak untuk dilakukan autopsi.
"Tapi yang membuat kami heran kemarin, ada penyidik dari Polsek Ambalawi yang membawa pernyataan sikap atas nama saya, isi pernyataan tersebut bahwa keluarga korban menolak untuk dilakukan otopsi, begitu bunyi redaksi surat pernyataan tersebut," ungkapnya.
Dari isi surat itu, Nanang mengaku tidak tahu apa-apa dan tidak pernah membuat surat pernyataan tersebut. Namun tiba-tiba saja didatangi dan disuruh untuk tanda tangan.
"Saya pun bertanya, kenapa saya harus tanda tangan pernyataan sikap atas nama saya, tapi mereka yang menulisnya (membuatnya). Tapi polisi menjawab itu untuk sementara, ketika nanti mau diotopsi lagi, dibuatkan lagi. Saya bilang tidak boleh begitu, surat pernyataan itu harusnya saya yang membuatnya," ucapnya.
Keluarga Menuntut Keadilan
Nanang mengungkapkan pihak keluarga meminta keadilan atas kasus kematian ayahnya, dengan mengharapkan kerja profesional dari pihak kepolisian yang menangani.
"Harapan besar kami sebagai pihak keluarga, kami meminta kejelasan. Karena saat kejadian, polisi tidak hanya satu dua orang, tapi sangat banyak. Intinya kami meminta keadilan, walaupun mati tidak bisa kita hindari, tapi penyebabnya inilah yang tidak bisa kami biarkan begitu saja," ujar Nanang.
Untuk menuntaskan kasus dan kebutuhan proses penyelidikan, keluarga bersedia ketika diminta persetujuan untuk dilakukan autopsi meskipun dengan membongkar kembali makam korban.
"Kami akan siap ketika dibutuhkan oleh polisi dalam mengungkap kematian ayah kami seperti otopsi. Kalaupun nanti dibutuhkan, meskipun makamnya dibongkar kembali, kami siap lakukan dan setujui," tegasnya.
Simak Video "Bertabur Penghargaan dalam Gelaran detikjabar Awards 2023"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/irb)