Anak kandung korban, Nanang Suhendra (31), mengatakan, Muhardin saat itu berusaha meredam protes warga dan simpatisan calon kepala desa. Awalnya korban menginap di rumah warga saat massa melakukan protes ke kantor desa. Namun ketika bentrokan terjadi, Muhardin muncul di kantor desa untuk meredam amarah massa.
"Ayah saya ke kantor desa saat itu, berdasarkan cerita dari orang yang punya rumah tempat ayah tidur sebelum kejadian, kubu calon nomor 1 protes, kebetulan calon kades nomor urut 1 adalah saudara ayah saya dan saya pun ikut protes. Tujuan ayah saya datang ke kantor desa untuk meredam suasana, tapi belum sempat masuk ke dalam aula kantor desa, tiba-tiba jatuh dan tergeletak," ungkap Nanang pada detikBali, Senin (11/7/2022).
Nanang mengungkapkan, memang sempat terjadi insiden pelemparan batu, dan tak lama kemudian ia mendapat kabar dari polisi dan panitia ada korban tergeletak di samping tembok pagar kantor desa. Setelah dicek, ternyata orang tersebut ayahnya.
Korban pun langsung dievakuasi dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum Bima. Setelah dirawat intesif selama dua hari dan tak sadarkan diri, korban mengembuskan napas terakhir pada Sabtu (9/7/2022) malam. Pada tubuh korban terdapat luka lebam hingga luka robek di wajah dan kepala.
"Dilarikan ke rumah sakit, meninggal pada Sabtu malam. Dirawat dua hari di RSUD Bima. Polisi sempat mau autopsi, karena pertimbangan kami sebagai keluarga dikubur setelah sholat Idul Adha, sehingga tidak jadi," ujarnya.
Diceritakan Nanang, aksi protes hingga berujung bentrokan itu dipicu kejanggalan jumlah surat suara yang tidak sama dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Massa ngamuk karena panitia tidak memberikan penjelasan apapun, malah melanjutkan proses penghitungan perolehan suara.
"Sering terjadi rapat yang dilakukan panitia sehingga mengulur waktu, terakhir yang menimbulkan kericuhan itu terkait selisih antara DPT dan surat suara. Sehingga panitia melakukan rapat, setelah itu panitia tidak mengkonfirmasi kembali kepada warga hasil rapat tersebut, dan langsung melanjutkan proses penghitungan suara yang sempat ditunda. Makanya warga ngamuk, kemudian disusul suara tembakan peringatan dari polisi, bahkan ditembakkan gas air mata ke arah warga," tutur Nanang.
Nanang mengatakan, keributan berlangsung lama karena panitia tak kunjung memberikan penjelasan kepada warga dan simpatisan. Aksi protes sempat mereda ketika warga menunggu penjelasan panitia. Namun tak berlangsung lama, warga kembali melakukan protes di depan kantor Desa.
Ketika warga dan simpatisan melakukan aksi protes di depan kantor desa untuk menuntut penjelasan terkait perbedaan surat suara dan DPT, lanjut Nanang, tiba-tiba ada lemparan batu cukup banyak yang entah datang dari mana mengarah ke kantor desa. Batu-batu tersebut bagaikan hujan sehingga warga lari berhamburan menyelamatkan diri.
"Cuma yang saya lihat, batu yang mengarah ke kantor desa itu tidak datang dari posisi kami yang protes itu. Batu-batu itu entah datang dari arah gunung, pokoknya batu-batu itu datang dari arah di atas gunung. Begitu batu-batu itu datang, kami melakukan protes itu langsung lari berhamburan takut terkena batu," jelasnya.
Nanang menganggap kematian ayahnya bukan disebabkan warga yang protes, namun ada oknum yang sengaja membuat suasana mencekam dengan melempar batu ke arah kantor desa. Tak terima dengan kejadian itu, Nanang dan keluarganya telah melaporkan kejadian kepada Polres Bima Kota pada Minggu (10/7/2022) kemarin.
Pihak kepolisian yang dikonfirmasi detikBali, membenarkan kejadian tersebut dan mengaku telah menerima laporan dari keluarga korban. Polres Bima juga telah mulai melakukan penyelidikan dengan memeriksa beberapa saksi.
"Sudah melapor di polres dan tadi pagi sudah dilakukan pemeriksaan saksi sampai siang hari," kata Kasi Humas Polres Bima Kota Iptu Jufri.
(irb/irb)