Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) menelusuri dugaan korupsi penerbitan surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif sejumlah anggota DPRD Lombok Utara. Kasus ini berawal dari laporan kelompok masyarakat.
"Memang laporannya baru kami terima, dan kami atensi ini dengan serius," kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Ely Rahmawati, Kamis (30/1/2025).
Ely mengungkapkan berdasarkan laporan yang diterima jaksa dugaan SPPD fiktif terjadi dalam periode 2019-2024. Namun, diduga tidak semua anggota DPRD Lombok Utara terlibat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Informasi dari pelapornya ini bukan semua (anggota DPRD Lombok Utara), tetapi hanya sejumlah, oknum saja. Seperti yang ada di laporan," ujarnya.
Setelah mendapat laporan, Kejati akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram yang juga pernah menangani kasus dugaan SPPD fiktif. Menurut Ely, Kejati berupaya memastikan apakah kasus itu masih ditangani Kejari atau sudah dihentikan.
"Makanya nanti akan kami koordinasi lebih dahulu dengan Kejari Mataram, karena memang setahu kami, kejari pernah tangani kasus yang sama," imbuhnya.
Diketahui, Kejari Mataram tercatat menangani kasus SPPD fiktif anggota DPRD Lombok Utara pada 2022. Namun, kasus yang ditangani Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Mataram itu masih tahap penyelidikan.
Dalam kasus yang ditangani Kejari Mataram tersebut ada 30 anggota legislatif dan tujuh pegawai sekretaris dewan (sekwan) yang namanya tercantum diduga sebagai penerima SPPD fiktif.
Dugaan tersebut muncul dalam penerbitan SPPD pada 2021. Jumlah anggaran yang dikeluarkan beragam. Mulai dari Rp 1,8 juta hingga Rp 3,9 juta per orang. Persoalan ini terungkap dari hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Uang SPPD tercatat tidak digunakan sesuai laporan untuk biaya penginapan. Akibatnya, negara mengalami kerugian Rp 186,57 juta.
(hsa/gsp)