Aprialely Nirmala (AN) dan Agus Heriyanto (AH) didakwa maksimal 20 tahun penjara. Keduanya adalah terdakwa perkara korupsi pembangunan tempat evakuasi sementara (TES) shelter tsunami di Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dakwaan dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Negeri Mataram, Rabu (22/1/2025). Sidang dipimpin oleh majelis hakim Isrin Surya Kurniasih sebagai hakim ketua bersama hakim anggota Lalu Moh Sandi Iramaya dan Fadhli Hanra.
"Jaksa penuntut umum mendakwa kedua terdakwa atas nama Aprialely Nirmala dan Agus Hariyanto melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata JPU KPK, Greafik Loserte, dalam sidang, Rabu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Greafik membeberkan perbuatan terdakwa Aprialely Nirmala sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Agus Herijanto sebagai kepala pelaksana proyek dari PT Waskita Karya. Ia mengatakan kasus ini bermula ketika BNPB menyusun master plan pengurangan risiko bencana tsunami yang mencakup perencanaan kerja pembangunan shelter, pengadaan alat peringatan dini tsunami, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat pada 2012.
Dalam master plan tersebut, disebutkan bahwa tempat evakuasi sementara atau shelter tsunami tersebut harus tahan terhadap gempa dengan kekuatan 9 Skala Richter (SR). Pada 21 April 2014, keluar surat nomor: KU.01.08-Cb/545 dari Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Adjar Prajudi, kepada Kepala SNVT PBL Provinsi NTB, Ika Sri Rezeki, perihal pelaksanaan pembangunan shelter di wilayah itu.
Melalui surat tersebut, Adjar meminta Ika untuk segera melakukan pengadaan pekerjaan bangunan shelter dengan pagu anggaran sebesar Rp 23 miliar. Namun, terdakwa Aprialely Nirmala selaku PPK pelaksanaan pembangunan menyerahkan soft file detail engineering design (DED) dan laporan akhir 2012 yang diterima pertengahan Maret 2014 dari Ditjen PBL, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PU NTB.
"Terdakwa Aprialely Nirmala saat itu berdalih tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakan pembangunan gedung termasuk melakukan perubahan DED. Sehingga terdakwa Aprialely Nirmala selaku PPK proyek telah mengubah DED proyek yang disusun BNPB selaku perencana tanpa melalui pengesahan dan verifikasi teknis," kata Greafik dalam sidang, Rabu siang.
Terdakwa Aprialely Nirmala, dia melanjutkan, tidak mengetahui landasan atau dasar ilmiah yang digunakan sebagai alasan perubahan DED tersebut. Selain itu, Aprialely Nirmala juga menurunkan spesifikasi tanpa kajian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, pada akhir Mei 2014, Aprialely Nirmala mendapat perintah dari Ika Sri untuk segera melakukan lelang dengan menggunakan dasar soft file DED hasil peninjauan. Aprialely Nirmala pun menyerahkan soft file DED yang tak memiliki tanda tangan dari PT Qorin.
Sementara itu, perbuatan terdakwa Agus Hariyanto sebagai pelaksana proyek melaksanakan pekerjaan dengan mengacu pada perubahan DED atau rancang bangun perinci yang telah diubah Aprialely Nirmala. "Terdakwa dua, Agus Hariyanto melaksanakan pekerjaan dari hasil perubahan perencanaan DED dan membuat laporan pertanggungjawaban belanja yang tidak benar," imbuhnya.
Atas perbuatan kedua terdakwa, JPU KPK mendakwa Aprialely Nirmala dan Agus Hariyanto melakukan dan turut serta melakukan tindak pidana korupsi dalam pekerjaan proyek pada 2014. Adapun, kerugian keuangan negara senilai Rp 18,4 miliar.
Sebelumnya, KPK menetapkan Agus Herijanto dan Aprialely Nirmala sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan TES atau shelter tsunami di NTB. Direktur penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan KPK telah menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan keduanya sebagai tersangka.
(iws/hsa)