Round Up

Kekecewaan Kampus Terhadap Pria Difabel Tersangka Pelecehan Seksual

Tim detikBali - detikBali
Sabtu, 14 Des 2024 09:30 WIB
Foto: Pria difabel berinisial IWAS saat mengikuti proses rekonstruksi kasus dugaan pelecehan seksual di salah satu homestay di Mataram, NTB, Rabu (11/12/2024). (Foto: Edi Suryansyah/detikBali)
Mataram -

Salah satu kampus negeri tempat IWAS, pria difabel tersangka pelecehan seksual di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengungkapkan kekecewaannya. Sebab, IWAS diharapkan bisa mengikuti jejak senior difabel yang sukses, tapi malah jadi tersangka.

"Awalnya kami berharap IWAS bisa sukses, tetapi ternyata (jadi tersangka dugaan pelecehan seksual pada belasan korban)," sesal Wakil Dekan II Fakultas Dharma Acarya, sebuah kampus negeri di Mataram, Ni Wayan Rasmini, saat dijumpai detikBali di ruangannya, Jumat (13/12/2024).

Fakultas Dharma Acarya sebelumnya mempunyai mahasiswa disabilitas bernama Pande Dwi Surya dan I Nyoman Sutrisni. Keduanya sukses menjalani perkuliahan dengan baik hingga berkarier.

Pande Dwi Surya, meski disabilitas dengan tangan kecil, sukses menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Lombok Barat. Sementara I Nyoman Sutrisni, dengan kondisi (disabilitas) kaki kecil dan bertongkat, sukses menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lombok Utara.

Minta Tak Bawa Nama Kampus Saat Beraksi

Rasmini meminta IWAS tidak lagi menggunakan nama almamater untuk melakukan berbagai aksi negatif. Pasalnya, IWAS acapkali membawa nama kampus sebagai tamengnya di depan para korban.

"Kami sangat menyayangkan almamater kampus digunakan IWAS untuk melakukan kegiatan menyimpang. Apalagi (jas) almamater itu dipakai lagi saat rekonstruksi," kata Rasmini.

Rasmini menegaskan jas almamater pada prinsipnya digunakan saat kegiatan penting saja, bukan dipakai setiap hari. Jas almamater juga bisa digunakan pada saat ujian dan praktik kerja lapangan (PKL). "Jadi sehari-sehari tidak digunakan oleh mahasiswa," terangnya.

Rasmini menuturkan kampus sangat menyayangkan ulah yang dilakukan IWAS. Terlebih, IWAS menggunakan nama kampus untuk meyakinkan para korban yang dilecehkan.

"Kejadian ini kejadian luar biasa (bagi kampus kami), saya sangat menyayangkan dan sedih. Semua orang terkejut saat mendengar kejadian ini, yang rasanya tidak mungkin dilakukan (IWAS). Mudah-mudahan, kasus ini bisa selesai di sini dan tidak ada lagi korban selanjutnya," harap Rasmini.

"Kami mohon kepada IWAS agar berhenti (melakukan tindakan melenceng) membawa nama kampus, karena kampus itu tempat mendapatkan pendidikan. Mohon, jangan lagi mengatasnamakan kampus untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti ini," tegas Rasmini.

Sering Bolos dan IP Rendah

Radmini mengungkapkan jika IWAS kerap bermasalah dalam menjalani perkuliahan, seperti sering bolos hingga memiliki indeks prestasi (IP) rendah. IWAS sangat jarang masuk kelas untuk menerima mata kuliah dari dosen. Menurutnya, pada semester 7 ini, IWAS hanya mengikuti dua perkuliahan dari 14 pertemuan.

"Kalau kesehariannya, IWAS ini datang ke kampus, tetapi sampai di tempat parkir lalu hilang, tidak pernah masuk kelas. Buktinya absensinya tidak pernah ada. Di absensi semester ini, hanya dua tanda tangan IWAS," jelas Rasmini

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu itu memiliki catatan akademis yang rendah. Indeks prestasi (IP) IWAS yang tercantum dalam kartu hasil studi (KHS) rata-rata di bawah 2,5.

"IP IWAS di semester I itu 1,7, lalu di semester II IP-nya 0 karena cuti, semester III IP-nya 1,9. Lalu di semester IV IP-nya 2,35, semester V IP-nya 0,4 karena tidak pernah masuk kuliah. Kemudian di semester VI IP IWAS 0,8, dan di semester sekarang belum ada karena dia tidak pernah datang kuliah, jadi belum ada penilaian di tengah semester ini," tutur Rasmini.



Simak Video "Video: Babak Baru Kasus Pelecehan Seksual oleh Agus Difabel"

(nor/gsp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork