Bekas Wali Kota Bima Muhammad Lutfi Ajukan Kasasi Seusai Divonis Tujuh Tahun

Bekas Wali Kota Bima Muhammad Lutfi Ajukan Kasasi Seusai Divonis Tujuh Tahun

I Wayan Sui Suadnyana, Ahmad Viqi - detikBali
Kamis, 08 Agu 2024 20:36 WIB
Abdul Hanan, kuasa hukum kekas Wali Kota Bima Muhammad Lutfi, ditemui di Mataram, Kamis (8/8/2024). (Ahmad Viqi/detikBali)
Foto: Abdul Hanan, kuasa hukum kekas Wali Kota Bima Muhammad Lutfi, ditemui di Mataram, Kamis (8/8/2024). (Ahmad Viqi/detikBali)
Mataram -

Bekas Wali Kota (Walkot) Bima, Muhammad Lutfi, berencana mengajukan kasasi setelah divonis tujuh tahun penjara dalam putusan banding di Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat (PT NTB), Selasa (6/8/2024). Rencana pengajuan kasasi tersebut dibenarkan oleh kuasa hukum Lutfi, Abdul Hanan.

Menurut Hanan, upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dilakukan karena kliennya turut dibebankan untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 1,4 miliar dalam perkara korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Bima periode 2018 hingga 2022.

"Kami merasa keberatan dengan putusan banding PT NTB tersebut. Oleh karena itu, kami berencana mengajukan kasasi. Hal ini akan kami bicarakan lebih lanjut dengan klien kami, Lutfi," ujar Hanan saat ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Kamis (8/8/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hanan menambahkan putusan majelis hakim tingkat banding yang dibacakan pada Rabu (7/8/2024) menyampingkan isi Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 Tahun 1993 tentang Penyusunan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Menurut Hanan, putusan hakim PT NTB mengandung keputusan di luar kewenangan dan fakta persidangan.

"Dari fakta persidangan dan putusan pengadilan tingkat pertama, tidak terbukti adanya gratifikasi atau suap karena surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak memenuhi ketentuan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 Tahun 1993," jelas Hanan.

ADVERTISEMENT

Menurut Hanan, dakwaan tentang penerimaan gratifikasi yang disusun oleh jaksa penuntut umum (JPU) tidak disusun secara sistematis dan benar sehingga wajar jika hakim pengadilan tingkat pertama tidak mempertimbangkan dakwaan tersebut dalam putusan awal.

"Saya tidak sependapat dengan hakim Pengadilan Tinggi NTB yang memutus perkara Muhammad Lutfi dengan merujuk pada aturan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Jika hakim tidak menerapkan dakwaan secara sistematis, maka jaksa penuntut umum bisa saja membuat dakwaan secara sembarangan," tegasnya.

Selain itu, dalam fakta persidangan pada pengadilan tingkat pertama, Hanan menekankan tidak ada bukti yang mengungkap bahwa Muhammad Lutfi menerima gratifikasi berupa uang atau barang. Menurutnya, putusan hakim Pengadilan Tinggi NTB berada di luar fakta persidangan.

"Sebagai contoh, tidak ada satu pun bukti gratifikasi yang mengaitkan terdakwa dengan saksi-saksi. Klien kami tidak pernah berinteraksi dengan saksi-saksi, apalagi terkait proyek tersebut. Hal ini tidak bisa dibuktikan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram," katanya.

Hanan menyampaikan rencana pengajuan kasasi ke MA masih menunggu salinan putusan banding dari Pengadilan Tinggi NTB. "Sampai saat ini, kami belum menerima salinan putusan banding. Jika sudah ada, kami akan mempelajarinya dan mendiskusikannya lebih lanjut dengan klien kami," tandas Hanan.

Sebelumnya, Majelis Hakim PT NTB dalam sidang putusan banding Lutfi mengubah putusan Pengadilan Tipikor pada PN Mataram. Lutfi yang sebelumnya hanya dinyatakan melakukan pemufakatan jahat oleh hakim Pengadilan Tipikor Mataram, kini dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat dan gratifikasi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemkot Bima pada 2018-2022.

"Majelis mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan kesatu dan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, beberapa kali yang masing-masing dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sebagaimana dalam dakwaan kedua," ujar Majelis Hakim PT NTB, I Wayan Wirjana, saat membacakan putusan.

Wayan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa berupa pidana penjara selama tujuh tahun dan denda sebesar Rp 250 juta. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.




(hsa/gsp)

Hide Ads