Para penggugat proyek Jalan Lingkar Selatan (JLS) di Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Bali, mengeklaim telah mengantongi sertifikat hak milik (SHM). Tak hanya itu, para penggugat juga mengeklaim memiliki buku rincikan lahan yang menjadi objek sengketa.
Kuasa hukum para penggugat, I Ketut Rinata, mengungkapkan lahan yang dipermasalahkan tersebut merupakan tanah warisan sebagaimana tertera dalam buku rincikan. Namun, dia berujar, luas tanah tersebut berubah ketika SHM terbit.
"Di sertifikat, tanahnya memang sudah terpotong," ungkap Rinata kepada detikBali di Denpasar, Selasa (6/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rinata menuturkan warga di seputar proyek JLS awalnya telah mengikhlaskan tanah mereka untuk pembangunan jalan sekitar akhir 1998 hingga awal 2000. Seiring waktu, dia melanjutkan, para penggugat mulai mengurus SHM atas lahan tersebut.
Menurut Rianta, wacana pelebaran jalan menjadi 12 meter muncul saat warga mengurus SHM ini. Ia menyebut kliennya sempat mendapat informasi bila tidak bersedia melepaskan tanah selebar 12 meter, maka SHM tidak terbit. Ketika SHM terbit, tanah warga justru langsung dipotong.
"Dibilangnya tanah negara. Padahal itu tanah mereka (penggugat)," beber Rinata.
Lantaran tanah tersebut tak tertera dalam SHM, klien Rinata tak masuk ke dalam daftar penerima ganti rugi dari PUPR Badung. Padahal, dia mengeklaim tanah kliennya terdampak pembangunan JLS sebagaimana tertera dalam buku rincikan.
Rinata telah menyiapkan saksi fakta terkait gugatan warga yang terdampak proyek JLS di persidangan. Saksi fakta tersebut, yakni kepala lingkungan (kaling) dan mantan kaling setempat.
"Saksi yang mengetahui tanah itu memang ada, yakni kaling dan mantan kaling. Di persidangan sudah dihadirkan," imbuhnya.
Pembangunan Jalan Lingkar Selatan digugat oleh sejumlah warga. Informasi yang diperoleh dari laman resmi PN Denpasar, ada enam warga yang melakukan gugatan. Mereka adalah I Wayan Kamar, I Made Pintu, I Made Mendra, I Made Lama, I Wayan Agun Juniantara, dan I Ketut Sudana.
Gugatan itu terdaftar di PN Denpasar pada Selasa (2/1/2024). Mereka menggugat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Badung.
Pada pokoknya, mereka menuntut ganti rugi atas tanah yang diklaim miliknya sebagai imbas dari proyek JLS. Adapun, total besaran ganti rugi mencapai Rp 39 miliar.
Sementara itu, proses di persidangan terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Sidang akan digelar kembali pada Senin (19/8/2024) mendatang.
![]() |
Penjelasan Pemkab Badung
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung membeberkan alasan tak memberikan ganti rugi kepada enam warga di proyek Jalan Lingkar Selatan. Kepala Dinas PUPR Badung Ida Bagus Surya Suamba menegaskan pembebasan lahan berlangsung pada 2018.
Pemkab Badung, Suamba berujar, selalu berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Badung terkait pembebasan lahan tersebut. "Hasil cek, tanah yang dimohon dalam gugatan itu tidak masuk dalam daftar nominatif. Artinya jalan tanah itu tidak berada di atas hak milik atau itu tanah negara," jelas Suamba dalam keterangannya, Minggu (4/8/2024).
Suamba menegaskan tanah yang digugat tersebut tidak berada di atas hak milik. Pemkab Badung, dia melanjutkan, pasti membayar tanah masyarakat yang terimbas proyek asalkan mengantongi sertifikat.
"Pada saat pembebasan kami libatkan BPN. Dasar kami membayar tanah masyarakat lewat data autentik di BPN. Jadi dasar kami membayar itu tidak ada. Ada objek tanah, tetapi subjeknya siapa, itu yang tidak ada supaya tidak jadi temuan nanti," imbuh Suamba.
(iws/gsp)