Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram menyoroti maraknya kasus kekerasan seksual, khususnya di pondok pesantren (ponpes). Sejumlah kasus pencabulan hingga pemerkosaan dilakukan oleh pimpinan ponpes di Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Untuk pelecehan seksual di dalam pondok pesantren, datanya ada tiga kasus di tahun ini. Satu kasus di Sumbawa, satu kasus di Lombok Tengah, dan satu kasus di Lombok Barat," kata Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi, kepada detikBali, Selasa (11/6/2024).
Menurut Joko, jumlah kasus pelecehan seksual di ponpes bisa saja terus bertambah, mengingat korban butuh waktu lama untuk melapor ke LPA Mataram. Hal itu disebabkan karena mereka merasa mendapatkan tekanan dari banyak pihak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Korban itu ketakutan untuk melapor, takut nama baik ponpes-nya jelek sampai tidak dipercayai orang tua saat bercerita. Itu jadi alasan korban jadi tidak berani melapor," ujarnya.
Joko menilai kasus kekerasan seksual di ponpes menjadi salah satu kasus yang pelik. Mirisnya lagi, ada tiga korban pelecehan di salah satu ponpes Lombok Tengah yang hingga kini tidak berani melaporkan kasusnya ke LPA.
"Yang jadi masalah, tiga korban (baru) dan informan (kami) ini tidak berani melaporkan lebih jauh karena takut nama baik pondok dan lokasi pondok diketahui," ucap pria yang juga menjabat sebagai Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Mataram (Unram) tersebut.
Joko memberikan petunjuk, kasus tersebut terjadi di salah satu pondok pesantren di Lombok Tengah yang sebelumnya tidak beroperasi. Ponpes itu sudah kembali beroperasi beberapa waktu lalu, tetapi hanya menerima santri atau siswa pria.
Joko berharap Kemenag bisa memberikan solusi agar ponpes yang terindikasi kasus kekerasan seksual segera disikapi. "Banyak ponpes yang tertutup, jadi akses ke sana susah. Kami harap Kemenag serius melakukan pencegahan agar tidak terjadi kasus yang berulang," jawabnya.
Menurut Joko, keberadaan kiai hingga ustaz di lingkungan masyarakat masih banyak dianggap sebagai sosok yang sangat dihormati dan dianggap suci. Masyarakat kemudian banyak yang tidak percaya terjadi kekerasan seksual di lingkungan ponpes jika pelakunya tokoh agama atau petinggi ponpes.
"Meskipun bersalah, masyarakat pasti akan membela karena dianggap tidak mungkin melakukan (pencabulan) itu," katanya.
LPA Mataram mencatat ada sembilan kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam ponpes yang tersebar di NTB pada 2023. "Ada tiga kasus pencabulan pria dengan pria, satu kasus pencabulan wanita dengan wanita, dan lima kasus pencabulan berpasangan (pria dengan wanita)" tutupnya.
Sebelumnya, pimpinan ponpes di Kecamatan Sekotong, Lombok Barat berinisial MA, dan di Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, berinisial HD mencabuli santrinya. MA mencabuli empat santrinya dan satu diperkosa. Sementara kasus HD masih didalami Polres Lombok Tengah.
Pimpinan ponpes di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, berinisial MZ juga dilaporkan ke Polres Sumbawa karena mencabuli santrinya berinisial AS (19).
(hsa/dpw)