Rusia menjadi salah satu negara yang menyumbang wisatawan paling tinggi ke Bali. Namun, seiring tingginya jumlah turis Rusia, belakangan banyak di antara mereka yang membuat ulah di Pulau Dewata. Pemerintah Rusia rupanya ikut gerah atas ulah warganya yang memalukan itu.
Menteri Kehakiman Rusia Konstantin Anatolievich Chuychenko menanggapi cukup keras soal warganya yang mendapat sorotan lantaran kerap berulah di Bali.
Chuychenko mewanti-wanti warga Rusia menjaga sikap dan patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semua warga (Rusia) yang datang ke Indonesia berkewajiban untuk mematuhi hukum di Indonesia," ungkapnya setelah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah Indonesia di Nusa Dua, Badung, Jumat (31/3/2023).
Anak buah Presiden Vladimir Putin itu pun menegaskan jika ada warga Rusia yang bandel, maka wajib diproses hukum.
"Jika mereka (turis Rusia) melanggar hukum di Indonesia, mereka wajib dituntut!" tegas Chuychenko melanjutkan.
Apalagi, dengan perjanjian ekstradisi, ada langkah mutual yang baik untuk Indonesia dan Rusia berkaitan dengan kriminal yang dilakukan oleh WNA di Indonesia.
"Sekarang, kami memiliki basis legal dalam memerangi kejahatan. Kami akan melakukan kerja sama mutual," katanya.
Perjanjian ekstradisi ini, sambung Chuychenko, juga menjadi mekanisme penting dalam perkembangan pariwisata kedua negara.
Sebelumnya, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali mengungkap periode 1 Januari-27 Maret 2023, ada 56 warga asing yang dideportasi. Dari jumlah itu, turis Rusia mendominasi sebanyak 18 orang.
Indonesia-Rusia Tandatangani Perjanjian Ekstradisi
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Rusia menandatangani perjanjian ekstradisi. Perjanjian itu diteken oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly dan Menteri Kehakiman Rusia Konstantin Anatolievich Chuychenko di Nusa Dua, Bali, Jumat (31/3/2023).
"Penandatanganan perjanjian ekstradisi ini melanjutkan capaian atas ditandatanganinya perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau Mutual Legal Assistance in Criminal Matters antara RI dan Rusia di Moskow, 13 Desember 2019," tutur Yasonna. Perjanjian ini menjadi perjanjian ekstradisi pertama antara Indonesia dengan negara di Eropa.
Yasonna menerangkan hubungan diplomatik Indonesia dan Rusia telah berjalan selama 73 tahun. Hubungan diplomatik kedua negara itu dimulai sejak 3 Februari 1950.
Menurut Yasonna, Indonesia maupun Rusia memiliki wilayah teritorial yang sangat luas. Akibatnya, rentan dimanfaatkan sebagai tempat melarikan diri pelaku tindak pidana.
"Meskipun mekanisme pemulangan para pelaku tindak pidana juga dapat dilakukan melalui mekanisme deportasi dan kerja sama keimigrasian, namun kerja sama ekstradisi tetap menjadi opsi yang utama karena ekstradisi bersifat formal dan mengikat," ungkap Yasonna.
Penandatanganan perjanjian ekstradisi ini, Yasonna melanjutkan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo dalam penegakan hukum yang berfokus pada pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme.
"Lebih lanjut, perjanjian ekstradisi antara RI dan Rusia ini juga merupakan sinyalemen kuat untuk mendukung pemberantasan tindak pidana yang mengancam stabilitas dan integritas sistem keuangan," tutur Yasonna.
(hsa/irb)