Di Desa Adat Timpag, Kecamatan Kerambitan, Tabanan, terdapat sebuah tradisi yang berbeda dengan desa adat lainnya. Desa adat yang terdiri dari 813 kepala keluarga (KK) itu mengenal tradisi tawur agung (besar) dan tawur alit (kecil) menjelang Hari Raya Nyepi.
Bendesa Adat Timpag, I Gede Made Suastawa, diwawancarai, Minggu (16/3/2025) mengatakan perbedaan tawur tersebut terdapat dalam upakara dan lokasi saat melasti.
Pada tawur agung, caru balik sumpah menggunakan sapi dan kambing. Kemudian, saat melasti dilakukan di laut. Hal ini berbeda dengan tawur alit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sementara untuk tawur alit menggunakan caru panca sanak dengan menggunakan bebek mebulu sikep atau bebek berwarna hitam. Dan lokasi melasti dilakukan di campuhan sungai atau pertemuan dua aliran sungai," tutur I Gede Made Suastawa.
Namun, bagi krama adat di Desa Adat Timpag, tradisi itu sering disebut dengan istilah nyepi alit dan nyepi gede. Padahal, Made Suastawa berujar, tidak dikenal adanya nyepi besar atau kecil.
"Hanya upakara dan lokasi melastinya saja yang berbeda. Tapi di masyarakat sering disebut nyepi alit dan nyepi gede. Dan tawur ini dilakukan setiap dua tahun sekali. Untuk Nyepi tahun ini melakukan tawur alit," bebernya.
Suastawa menjelaskan tradisi itu sudah turun-temurun dilakukan di Desa Adat Timpag. Memang tidak ada sejarah tertulis mengenai tradisi itu. Namun, dia melanjutkan, tradisi itu dilakukan karena alasan biaya atau dalam istilah Bali disebut prebeya.
"Kalau tawur agung menghabiskan biaya sekitar Rp 55-65 juta, sedangkan tawur alit berkisar Rp 30 juta," ujarnya.
Di Desa Adat Timpag sendiri terdapat sembilan banjar adat yakni Telaga Tunjung Kaja, Banjar Lebah, Banjar Munduk, Banjar Dajan Peken, Banjar Delod Peken, Banjar Pengayehan, Banjar Beluluk, Banjar Angligan, dan Banjar Bengkel.
(hsa/hsa)