Pulau Bali dikenal dengan keberagaman adat, tradisi dan budaya. Tak heran masyarakat Bali sangat sering melakukan perayaan pada hari-hari tertentu sebagai bentuk ungkapan rasa syukur, memohon keselamatan, dan bentuk penyampaian rasa terima kasih kepada Sang Pencipta.
Salah satu perayaan hari besar yang sangat dinantikan masyarakat hingga turis di Bali ialah Nyepi. Namun, sehari sebelum Nyepi, terdapat tradisi ngerupuk yang dilakukan masyarakat Hindu Bali.
Tradisi ngerupuk biasanya dilakukan pada sore hari (sandyakala). Umat Hindu Bali memaknai tradisi ini sebagai bentuk prosesi untuk mengusir Bhuta Kala atau kekuatan jahat agar tidak mengganggu pelaksanaan Catur Brata Penyepian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ngerupuk masuk ke dalam bagian tradisi upacara Bhuta Yadnya yang umumnya dilaksanakan setelah selesai prosesi Tawur Agung Kesanga. Umat Hindu biasanya akan melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di seluruh tingkatan masyarakat, baik di lingkungan keluarga, banjar/desa, kecamatan, hingga tingkatan yang lebih luas.
Umat Hindu Bali menjalankan prosesi ngerupuk dengan berkeliling di halaman rumah sembari membawa obor yang terbuat dari daun kelapa kering dengan membunyikan bunyi-bunyian yang bisa mengeluarkan suara keras dan menaburkan nasi tawur. Hal ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan tempat tinggal dan sekitarnya.
Umat Hindu Bali percaya, dengan menjalankan tradisi ngerupuk, dapat mengusir hal negatif dan kekuatan jahat atau Bhuta Kala. Ngerupuk juga erat kaitannya dengan perayaan pawai ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh masuk dalam bagian ritual masyarakat Hindu pada perayaan ngerupuk menjelang Nyepi.
Ogoh-ogoh disimbolkan sebagai perwujudan dari Bhuta Kala yang digambarkan sebagai sosok yang besar, menakutkan, dan umumnya diketahui seperti raksasa. Setelah diarak berkeliling, pihak banjar ataupun seka akan melangsungkan upacara pembakaran sebagai ritual penutup.
(hsa/hsa)