Masyarakat Bali memiliki beragam kesenian tradisional yang dilestarikan secara turun temurun. Kesenian tradisional Bali tak hanya sebagai ajang hiburan, melainkan juga terkait ritual keagamaan masyarakat Hindu di Bali.
Salah satu jenis tari yang disakralkan oleh masyarakat Bali adalah Tari Sanghyang Jaran. Kesenian ini diwariskan oleh masyarakat dari beberapa wilayah di Bali, termasuk bagi warga Banjar Badung, Desa Bungkulan, Buleleng.
Bagi warga Bungkulan, Tari Sanghyang Jaran mengandung spiritualitas dan nilai religius yang tinggi. Tarian ini dibawakan oleh dua orang laki-laki sambil menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari rotan atau kayu dengan ekor yang terbuat dari pucuk daun kelapa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pementasan Sanghyang Jaran biasanya diiringi dengan kecak. Penggambaran bentuk Tari Sanghyang Jaran mirip dengan tarian kuda lumping atau kuda kepang yang populer di Jawa.
Tari Sanghyang Jaran yang berkembang di Banjar Badung, Bungkulan, memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan Sanghyang Jaran di daerah lain, terutama Bali selatan. Ritual Tari Sanghyang di Bali selatan, biasanya penari akan menunggangi seekor kuda yang terbuat dari anyaman bambu.
Sementara itu, Tari Sanghyang di Desa Bungkulan tidak menggunakan properti apapun. Kostum yang digunakan pun cukup sederhana. Biasanya penari yang dipilih berdasarkan keturunan dan hanya menggunakan badong, ampok-ampok, gongseng di tangan dan kaki, tanpa menggunakan baju.
Sebelum pentas, tubuh penari akan diolesi semacam tapak dara berbentuk tanda tambah yang terbuat dari pamor. Adapun bagian tubuh yang diolesi, yaitu bagian punggung, kedua lengan tangan, kening dan dada.
Pementasan dan Makna Tari Sanghyang Jaran
Tari Sanghyang Jaran dipentaskan bertepatan dengan upacara nangluk merana, tepatnya pada purnama sasih ke-enam atau sekitar bulan Desember. Sasih ini dipercaya sebagai masa pancaroba, yakni perubahan musim yang ekstrem sehingga penyakit dan wabah mulai bermunculan.
Pada saat inilah untuk mencegah penyebaran penyakit, Sanghyang Jaran diturunkan atau napak pertiwi untuk menetralisir bumi yang sedang mengalami ketidakseimbangan. Pementasan dilakukan selama dua hari, yaitu sehari sebelum purnama dan tepat di hari purnama.
Selain itu, Tari Sanghyang Jaran juga sering dipentaskan pada kondisi dan keadaan tertentu. Misalnya saja jika terjadi grubug, pabrebeh desa atau banjar dan lain sebagainya.
Prosesi Pementasan Tari Sanghyang Jaran
Pementasan Sanghyang Jaran diawali dengan serangkaian upacara yang kompleks. Sebelum pementasan dimulai, para penglingsir atau kelian adat akan menghaturkan bakti piuning untuk memohon izin sekaligus memohon agar "Sang Jaran" atau "kuda" yang merupakan duwe niskala di pura tersebut berkenan hadir untuk napak pertiwi.
Ritual akan dilakukan dengan diawali persembahyangan bersama yang dipimpin oleh salah satu pemangku. Setelah berakhirnya prosesi persembahyangan, penari Sanghyang akan duduk bersila tepat di depan bangunan pelinggih.
Kemudian di depan para penari akan disiapkan pengasepan yang terbuat dari tanah liat yang diisi dengan bara api tepat di atas sebuah dulang. Penglingsir akan memolesi tubuh para penari dengan tapak dara yang telah disiapkan.
Saat bara api sudah dirasa siap, maka sekaa gending yang terdiri dari ibu-ibu, bapak-bapak, dan para teruna-teruni akan memulai lantunan nyanyian pemanggil roh Sang Jaran untuk segera memasuki tubuh penari.
Lantunan nyanyian semakin lama akan semakin kencang. Pada titik inilah para penari mulai kehilangan kesadaran dengan mengepak-ngepakkan badannya layaknya seekor kuda. Tubuh penari pun akan kehilangan kontrol, puncaknya yaitu ketika para penari mengulurkan telapak tangannya ke bara api yang telah disediakan secara membabi buta.
Saat penari sudah di posisi terbaring, ini menjadi penanda pementasan akan segera dimulai. Sekaa gending akan kembali melantunkan bait demi bait lagu Sanghyang Jaran.
Sanghyang Jaran baru akan beraksi ketika lagu sudah kembali dimulai. Kekidungan yang dinyanyikan menggunakan kekidungan khas sekaa Sanghyang..
Artikel ini ditulis oleh Desak Made Diah Aristiani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(iws/iws)