Mengenal Benhur, Transportasi Tradisional Bima yang Terancam Punah

Bima

Mengenal Benhur, Transportasi Tradisional Bima yang Terancam Punah

Rafiin Uki - detikBali
Minggu, 07 Jan 2024 15:16 WIB
Benhur, alat transportasi tradisional Bima yang terancam punah.
Benhur, alat transportasi tradisional Bima yang terancam punah. (Foto: Rafiin Uki/detikBali)
Bima -

Beberapa daerah di Indonesia memiliki alat transportasi tradisional yang khas. Beberapa alat transportasi itu biasanya ditarik oleh hewan seperti kuda, sapi, atau bahkan kerbau.

Ada satu alat transportasi lokal di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang masih eksis sampai saat ini. Namanya benhur.

Moda transportasi lokal ini ditarik dengan tenaga kuda. Nyaris sama dengan dokar atau delman. Namun benhur memiliki bentuk yang berbeda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dulu, benhur menjadi salah satu sarana transportasi andalan warga Bima dari berbagai kalangan dan kelas sosial. Konon, di era 1970an, 1980an, hingga tahun 1990an, benhur kerap memenuhi jalan-jalan di Bima.

Dalam dua dekade terakhir, jumlah benhur mulai berkurang, bahkan terancam punah digeser alat transportasi yang lebih modern.

ADVERTISEMENT

Saat ini, benhur hanya bisa dijumpai di kawasan tertentu di Bima. Tempat mangkalnya juga hanya di pasar dan toko. Itupun yang diangkut hanya material bangunan ataupun barang belanjaan di pasar.

Faktor penyebabnya adalah kemajuan zaman. Moda transportasi yang modern seperti sepeda motor dan mobil terus bermunculan. Selain itu minat warga Bima menjadi kusir benhur dari tahun ke tahun makin berkurang. Tidak ada proses regenerasi.

Seorang mantan kusir benhur, Ahmad M Rum (40), mengatakan alasannya berhenti menarik benhur. Salah satu alasan utamanya karena penghasilan yang terus turun.

Dulu, dia bisa membawa pulang uang Rp 50.000 hingga Rp 100.000 dalam sehari dari menarik benhur. Sekang berkurang jauh.

"Karena tuntutan zaman dan sepi penumpang. Benhur saya jual untuk kredit motor. Sekarang ngojek untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari," ujarnya kepada detikBali, Sabtu (6/1/2024).

Ia mengaku berprofesi sebagai kusir benhur sejak duduk di bangku SMP hingga memiliki dua orang anak. Sebelumnya dia tidak berpikir bakal beralih pekerjaan, karena baginya menjadi kusir benhur adalah salah satu warisan keluarga yang ditinggalkan secara turun temurun.

Benhur, alat transportasi tradisional Bima yang terancam punah.Benhur, alat transportasi tradisional Bima yang terancam punah. Foto: Rafiin Uki/detikBali

"Saya adalah generasi keenam dan terakhir dari keluarga yang menggantungkan nasib sebagai kusir benhur," ujarnya.

Dulu hampir semua warga di wilayah Kota Bima, menarik benhur, seperti di Kelurahan Jatibaru, Jatiwangi, Sarae, Rabadompu, Penatoi, Penaraga, Penanae, Kendo, Kumbe, Paruga. Tempat mangkalnya di sekolah, kantor, pasar, pelabuhan, terminal, toko, dan kantor. Namun sekarang, hanya tersisa di beberapa kelurahan saja.

"Benhur yang masih tersisa sekarang di Jatiwangi dan Jatibaru. Kalau kelurahan lain rata-rata sudah tidak ada," ujarnya.

Salah seorang warga yang masih aktif menarik benhur adalah Zainun (45). Warga Kelurahan Jatiwangi Kecamatan Asakota ini memilih bertahan jadi kusir benhur karena tidak ada tidak pilihan lain untuk menafkahi keluarga.

"Tidak ada pilihan lain. Meski hasilnya sedikit, tapi lumayan bisa mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari," ujarnya.

Ayah dua orang ini mengakui keberadaan benhur dari tahun ke tahun di Kota Bima terus berkurang. Kondisi itu, juga tidak mempengaruhi pendapatan atau omzetnya setiap hari. Pasalnya penumpang sepi dan lebih memilih naik ojek atau menggunakan sepeda motor pribadi.

"Dulu menarik sebentar sudah bisa dapatkan Rp 50.000. Sekarang Rp 20.000 saja susah," sebut Zainun.




(dpw/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads