Bagi seorang dalang, perayaan Tumpek Wayang merupakan waktu untuk pelaksanaan Sang Hyang Ringgit atau Sang Hyang Tiga Wisesa. Di momen ini, seluruh wayang maupun perangkat gamelan beserta pengiringnya diupacarai.
"Semuanya diberikan sesajen sebagai rasa syukur seorang dalang terhadap wayang dan perangkat pengiringnya yang selama ini dipakai untuk pentas," tutur Wayan Nardayana yang lebih dikenal sebagai dalang Cenk Blonk.
Ia menjelaskan, dari sisi sekala atau nyata, ritual yang dilakukan adalah dengan menghaturkan persembahan atau sesajen pada wayang. Termasuk perangkat bunyi-bunyian seperti gamelan: gender atau gong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara tidak nyata atau niskala, upacara ini sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Ringgit, dewanya wayang," tegasnya.
Selain menjalankan bakti sebagai seorang dalang, perayaan Tumpek Wayang juga berfungsi untuk melakukan upacara ruwatan atau mebayuh oton, semacam pembersihan diri secara tidak kasat mata bagi mereka yang lahir pada wuku Wayang dalam sistem kalender Bali.
"Ada 30 wuku. Satu wuku lamanya tujuh hari. Dari Minggu atau Redite sampai Sabtu atau Saniscara. Ketika Saniscara bertemu Kliwon itu disebut Tumpek. Dan tumpek yang tepat pada saat wuku Wayang disebut Tumpek Wayang," bebernya.
Menurut Nardayana, seorang dalang bukan saja sebagai seniman yang memberikan hiburan lewat pentas pewayangan. Namun di sisi lain, seorang dalang juga bertugas sebagai rohaniawan.
Sehingga dalam kehidupan sehari-hari yang menurutnya sebagai pentas pewayangan sesungguhnya, dalang harus menunjukkan laku yang baik serta sesuai dengan ajaran agama agar menjadi contoh.
"Itu sebabnya, sebelum menjadi dalang, orang itu menjalani upacara pawintenan atau diinisiasi. Sehingga posisi dalang sama seperti pamangku tapi di bawah pendeta. Karena proses menjadi pendeta melalui upacara madiksa. Di Bali dalang itu disebut Jero Dalang. Kalau di Jawa disebut Ki Dalang," pungkasnya.
(iws/irb)