Jejak toleransi beragama di Buleleng ternyata sudah ada sejak zaman kerajaan Buleleng masih berjaya. Hal itu dibuktikan dengan adanya peninggalan berupa masjid bersejarah bernama Masjid Agung Jamik Singaraja.
Masjid itu kokoh berdiri di Jalan Imam Bonjol, Kelurahan Kampung Kajanan, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Bali.
Masjid yang diperkirakan berdiri sekitar tahun 1830 ini memiliki ragam peninggalan yang erat kaitannya dengan hubungan toleransi antar umat beragama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di lokasi bisa ditemukan pintu gerbang yang memiliki ornamen dan ukiran khas Bali serta Al-Quran bersejarah yang ditulis langsung oleh keturunan raja pertama Buleleng Ki Barak Panji Sakti yang telah memeluk agama islam bernama Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi.
Pengurus Masjid sekaligus Seksi Budaya dan Sejarah di Masjid Jamik Singaraja Lalu Ibrahim (34) mengungkapkan jika awalnya masyarakat islam yang bermukim di kampung kajanan, kampung bugis, dan kampung baru hanya memiliki satu masjid yakni masjid keramat/masjid kuno yang terletak di Jalan Hasanudin Singaraja.
Dulu, Mesjid Keramat juga biasa digunakan sebagai tempat ibadah salat lima waktu dan salat jumat. Namun karena jumlah umat muslim di wilayah itu kian hari semakin berkembang, mengakibatkan daya tampung masjid keramat tidak memadai lagi.
Bertolak dari permasalahan tersebut, maka pemuka umat ketiga kampung tersebut akhirnya mengajukan permohonan kepada Raja Buleleng saat itu yakni Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong (Keturunan VI Anak Agung Ngurah Panji Sakti) untuk kesediaannya memberikan lahan untuk mendirikan sebuah masjid yang representatif.
"Karena kedekatan raja dengan umat islam di sini yang dimana umat di sini juga membantu perjuangan gusti panji sakti merebut blambangan, pasuruan dan perang dengan klungkung dulu, maka diberikanlah tanah 16 are untuk membangun masjid di jalan Imam Bonjol. Pembangunannya diawasi oleh Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi (kerabat raja yang telah menjadi mualaf) dan Abdulah Mascatty yang merupakan tokoh penggerak masa pada saat itu" ujar Ibrahim saat ditemui detikBali, Kamis (28/4/2022).
Lanjut Ibrahim menceritakan kalau proses pembangunan masjid juga sempat terhenti akibat ditawannya Raja Buleleng Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong dan Abdulah Mascatty ke Sumatera Barat oleh Belanda. "Jadi sempat terhenti. Sekitar tahun 1850 yang kemudian digantikan oleh raja baru yaitu I Gusti Ngurah Ketut Jelantik yang melanjutkan pembangun masjidnya" imbuhnya.
Selain sempat terhenti oleh karena ditawannya Raja Buleleng Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong oleh pihak Belanda. Proses pembangunan masjid tepatnya menjelang proses penyelesaian sekitar tahun 1860 Masehi sempat juga terjadi perselisihan antar masyarakat. Dimana beberapa warga tidak menyetujui peralihan tempat pelaksanaan shalat jumat dari Masjid Keramat ke masjid yang baru.
Beruntungnya hal itu dapat diselesaikan dengan baik setelah ditengahi oleh Raja Buleleng saat itu yakni I Gusti Ngurah Ketut Jelantik VIII. Dimana raja memberikan salah satu kori (pintu gerbang) yang berada di puri untuk dipasang sebagai pintu gerbang masjid serta memerintahkan para tukang ukir puri untuk membantu membuat mimbar masjid yang berukiran sama dengan ukiran mimbar yang ada di masjid keramat.
"Sempat terjadi perselisihan antara warga sini dengan warga di masjid keramat, akhirnya raja saat itu turun tangan dan memberikan hadiah pintu itu, bahwa masjid ini dalam perlindungan saya gitu, didamaikan jadi gak sampai bersitegang keras" jelasnya
Ibrahim menambahkan, nama Masjid Agung Jamik digunakan sebagai upaya untuk memupuk rasa saling memiliki antar sesama umat yang dimana nama Masjid Jami itu memiliki artian sebagai masjid untuk bersama-sama.
(kws/kws)